JAKARTA, KOMPAS — Integrasi tarif moda raya terpadu (MRT) dan kereta ringan (LRT) dengan moda transportasi lain dinilai mutlak diperlukan guna mengalihkan pengguna kendaraan pribadi untuk mengurangi kemacetan Jakarta. Tarif terpisah sebesar yang sudah ditetapkan dinilai masih terlalu mahal bagi sebagian besar warga.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, dengan tarif MRT yang ditetapkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pekan ini, tarif dari perjalanan Lebak Bulus hingga Stasiun Bundaran Hotel Indonesia pergi-pulang (PP) sebesar Rp 28.000 per hari.
Namun, warga juga akan membutuhkan transportasi pengumpan untuk menuju stasiun atau meninggalkan stasiun mencapai tempat tujuan. Dengan asumsi warga menggunakan bus Transjakarta sebagai pengumpan, biaya minimal bertambah Rp 7.000 per hari PP.
”Dengan begitu, biaya PP menggunakan MRT dari Lebak Bulus ke seputaran Hotel Indonesia diperkirakan Rp 35.000 per hari. Kalau sebulan ada 25 hari kerja, sekitar Rp 875.000,” katanya di Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Menurut Tulus, tarif tunggal ini memang masih lebih murah daripada biaya menggunakan mobil pribadi yang berkisar Rp 60.000-Rp 70.000 PP per hari. Namun, itu sangat mahal bagi pengguna sepeda motor atau warga dengan penghasilan upah minimum provinsi (UMP). Dibandingkan dengan penghasilan UMP, biaya menggunakan MRT itu sekitar 22 persen dari penghasilan. Padahal, menurut standar dunia, belanja transportasi wajar tidak lebih dari 10 persen penghasilan.
Tulus mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya melakukan pemetaan sasaran pengguna MRT sebelum menetapkan tarif. Pemerintah juga seharusnya melakukan pemetaan minat warga menggunakan MRT. Saat ini, perilaku itu belum terlihat sebab tingginya animo masyarakat masih didorong rasa ingin tahu dan biaya yang masih gratis.
Dengan kondisi ini, kata Tulus, dirinya masih ragu MRT akan mampu mengalihkan pengguna kendaraan pribadi. Bagi pengguna sepeda motor, biaya menggunakan MRT masih terlalu mahal.
Di sisi lain, selisih biaya menggunakan MRT dan mobil pribadi itu pun belum terlalu besar untuk bisa menarik pengguna mobil beralih ke MRT. Sebab, kendati kendaraan di jalur itu macet di beberapa titik, mobil pribadi masih jauh lebih nyaman serta selisih biaya yang belum terlalu berdampak untuk pendapatan kalangan masyarakat bermobil.
Oleh karena itu, ujar Tulus, seharusnya dilakukan pembatasan kendaraan pribadi di jalur yang sudah dilewati MRT itu. Pemerintah juga seharusnya segera menerapkan tarif MRT yang terintegrasi dengan moda transportasi pengumpannya, seperti Transjakarta, angkutan Jaklingko (program integrasi layanan angkutan umum milik DKI Jakarta), dan LRT.
Tarif terintegrasi yang dimaksud adalah biaya maksimal untuk seluruh penggunaan moda transportasi hingga mencapai tujuan. ”Jadi, misalnya sudah naik MRT, maka Transjakarta dan angkutan Jaklingko gratis dan LRT atau sebaliknya,” kata Tulus.
Tujuannya adalah memperbesar insentif warga yang mau menggunakan transportasi umum massal sehingga mendorong lebih banyak warga meninggalkan kendaraan pribadi, terutama sepeda motor.
Senada dengan itu, Direktur Institute for Transportation and Development Policy Yoga Adiwinarto mengatakan, dengan tarif MRT dan biaya transportasi pengumpan itu pun warga masih lebih tertarik menggunakan jasa ojek daring yang harganya hampir setara.
Hal itu ditambah waktu dan jarak tempuh jalan kaki dengan jasa ojek pun masih lebih pendek daripada menggunakan MRT ataupun LRT. Sementara penggunaan ojek daring tak mengurangi kemacetan.
”Jadi, tarif ini memang mutlak terintegrasi. Kita tidak bisa lagi bicara tarif tunggal untuk transportasi publik,” katanya.
Evaluasi
Tulus menyarankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan evaluasi tiga bulanan untuk tahun pertama ini untuk memetakan minat warga dalam menggunakan MRT. Hal itu agar dapat terlihat kekurangan dari MRT sehingga diketahui perombakan yang diperlukan. ”Kita sudah punya pelajaran LRT di Palembang yang tak laku. Jangan sampai MRT ini mengalami hal yang sama,” kata Tulus.
Secara terpisah, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berencana mengusulkan tarif integrasi antarmoda. Hal ini bertujuan agar masyarakat bisa membayar hanya dengan satu harga jika menggunakan transportasi umum yang tergabung dalam Jaklingko.
”Menurut rencana, subsidi ini akan satu paket untuk semua moda. Tetapi, untuk sekarang, tarif tiap moda masih sendiri-sendiri dan berbeda-beda,” ucapnya saat meninjau Stasiun MRT Bundaran HI yang terintegrasi dengan Halte Transjakarta.
Direktur Transjakarta Agung Wicaksono masih enggan membahas integrasi tarif antarmoda. Menurut dia, hingga saat ini saja masih belum ditemukan titik temu tarif MRT sehingga masih belum bisa dibahas integrasi antarmoda.
”Namun, kami sudah mulai menyiapkan sejumlah halte yang terintegrasi MRT, seperti Halte Tosari, Lebak Bulus, dan CSW-ASEAN, yang akan ditargetkan rampung tahun ini,” katanya.