Masifnya aktivitas tambang minyak ilegal di Jambi telah menuai kerusakan lingkungan dan merebaknya sejumlah kasus penyakit di masyarakat. Tanpa penanggulangan cepat dan terpadu, bencana yang lebih parah akan segera terjadi.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Masifnya aktivitas tambang minyak ilegal di Jambi telah menuai kerusakan lingkungan dan merebaknya sejumlah kasus penyakit di masyarakat. Tanpa penanggulangan cepat dan terpadu, bencana yang lebih parah akan segera terjadi.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batanghari Elfi Yennie mengatakan, ancaman berbagai jenis penyakit mulai dialami masyarakat di lokasi tambang di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi. Pihaknya mendapati lonjakan kasus penyakit tertentu dalam setahun terakhir. Lonjakan itu pada kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), infeksi kulit, serta dampak sertaan alergi atas perubahan indikator kesehatan lingkungan. Merebaknya kasus diindikasikan sebagai dampak pencemaran lingkungan akibat maraknya tambang ilegal.
Di Desa Pompa Air, temuan ISPA melonjak hampir 300 persen. Lonjakan itu belum pernah terjadi sebelumnya di sana. Jumlah penderita yang terlaporkan mencapai 635 orang sepanjang 2018, naik drastis daripada tahun 2017 yang tercatat 215 penderita.
Kasus infeksi kulit (dermatitis contact irritant) di Desa Pompa Air, Bajubang, mencapai 177 orang tahun 2018. Angka itu juga naik dari tahun sebelumnya sejumlah 110 orang. ”Kami melihat peningkatan kasus yang signifikan ini terkait erat dengan maraknya aktivitas tambang minyak ilegal di wilayah ini,” ujar Elfi, Rabu (27/3/2019).
Kepala Puskesmas Penerokan, yang melayani pasien di wilayah areal tambang, Gusrinety menuturkan, lonjakan kasus penderita itu terjadi dalam setahun terakhir. ”Sebelumnya, kasus penyakit dari tahun ke tahun stabil. Baru setahun terakhir terjadi lonjakan,” katanya.
Praktik tambang liar mulai marak tahun 2017. Lebih dari 1.500 titik pengeboran menyebar di Desa Pompa Air dan Bungku.
Aktivitas liar itu sebagian berlangsung dalam wilayah kerja pertambangan PT Pertamina (Persero) yang memperoleh izin pinjam pakai Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Syaifuddin. Selebihnya berlangsung di lahan masyarakat yang menjadi penyangga (buffer zone) tahura.
Hasil survei kesehatan lingkungan terbaru menyimpulkan lokasi tambang ilegal itu tidak layak lagi dihuni makhluk hidup. Bahkan, berbagai jenis satwa sudah tidak lagi ditemukan di sana. Penyebabnya adalah lingkungan yang tercemar. Suhu udara dan air meningkat tajam dan derajat keasaman (pH) air merosot. Limbah minyak hasil tambang menggenang di mana-mana dan meresap hingga ke air tanah dan sungai-sungai di sekitarnya. Kondisi itu tidak memungkinkan berlangsungnya kehidupan satwa.
Pencemaran lingkungannya sudah sangat mengerikan. Dampaknya mengakibatkan satwa-satwa mati.
Pantauan Kompas, tidak tampak lagi ikan-ikan di Sungai Danau Merah yang alirannya bermuara ke Sungai Tembesi dan Batanghari. Air sungai tersier itu bahkan berminyak pekat dengan warna coklat kemerahan. Begitu pula burung dan serangga tidak tampak lagi di antara tanaman. Sebagian tanaman karet dan sawit telah mati di Desa Pompa Air dan Bungku yang menjadi pusat aktivitas tambang ilegal. ”Pencemaran lingkungannya sudah sangat mengerikan. Dampaknya mengakibatkan satwa-satwa mati,” kata Parlaungan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari.
Aktivitas tambang liar di wilayah itu tidak terkendali. Minyak hasil tambang kerap menyembur ke permukaan tanah. Di situlah para pekerja mengumpulkan minyak ke dalam jeriken dan ember. Limbahnya bercampur dengan lumpur, meresap ke dalam tanah, dan mengalir ke sungai.
Hasil survei yang dilaporkan Pemerintah Kabupaten Batanghari pada Januari lalu menyebutkan tercemarnya sumur-sumur warga. Air sumur didapati pH 5 alias tidak layak konsumsi karena terlalu asam. Suhu udara di bawah permukaan Sungai Danau Merah mencapai 36 derajat celsius, tidak memungkinkan satwa air bertahan hidup. Suhu dalam air juga didapati lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di udara. Hal itu akibat cemaran minyak dalam air sungai.
Tingkat kebisingan mencapai 63,93 desibel atau melampaui ambang batas yang bisa ditoleransi, yakni 55 desibel. Tingkat kelembaban mencapai 68,02 persen, juga di atas ambang batas 40-60 persen.