Pembaruan KUHP Harus Disesuaikan dengan Revolusi Industri 4.0
Oleh
Emilius Caesar Alexey
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengupayakan agar arah kebijakan perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana sesuai dengan perkembangan zaman, yang saat ini memasuki revolusi industri keempat. Penyusunan pembaruan hukum pidana pun harus memanfaatkan multidisiplin ilmu.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengatakan, pembaruan hukum pidana harus mempertimbangkan hal-hal lain di luar rumah hukum pidana yang juga berkembang secara dinamis dan sulit diramalkan. Kondisi ini dimungkinkan dengan mudahnya akses lintas batas negara, seiring dengan kemajuan teknologi di era revolusi industri keempat.
”Di era ini, kejahatan dunia maya yang berkembang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang melakukan kejahatan tanpa harus bertemu dengan korbannya, bahkan pelakunya tidak diketahui keberadaan tempat tinggal atau negaranya,” ujar Yasonna saat membuka Seminar Nasional ”Sumbangan Pemikiran Multidisiplin Ilmu terhadap Perkembangan Hukum Pidana” di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Kamis (28/3/2019).
Pembaruan hukum pidana harus mempertimbangkan hal-hal lain di luar rumah hukum pidana yang juga berkembang secara dinamis dan sulit diramalkan di era revolusi industri 4.0 ini.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) warisan kolonial Belanda, yang berlaku hingga saat ini, dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan hukum pidana nasional Indonesia. Perkembangan hukum pidana di luar KUHP, baik berupa hukum pidana khusus maupun hukum pidana administrasi, bahkan telah menggeser keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP.
Yasonna mengatakan, keadaan ini telah mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu sistem hukum pidana yang berlaku dalam sistem hukum nasional. Dalam beberapa hal juga terjadi duplikasi norma hukum pidana antara norma hukum pidana dalam KUHP dan norma hukum pidana dalam UU di luar KUHP.
”Oleh karena itu, pembahasan mengenai materi pembaruan hukum pidana memerlukan waktu yang sangat panjang. Sebab, harus dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab,” kata Yasonna.
Untuk mendapatkan rumusan yang tepat guna mematangkan pembaruan hukum pidana, Direktorat Jenderal Adminsitrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengundang aparat penegak hukum hingga akademisi dalam seminar tersebut. Diskusi yang berlangsung dalam kegiatan itu diharapkan dapat memberikan masukan dalam penyusunan pembaruan hukum pidana, yang saat ini masih digodok pemerintah.
Direktur Jenderal AHU Cahyo Radian Muzhar mengatakan, sumbangan pemikiran multidisiplin ilmu terhadap pembaharuan hukum pidana sangat dibutuhkan. Hal ini karena permasalahan-permasalahan hukum tidak bisa lagi diselesaikan sendiri oleh ilmu hukum.
”Saat ini terdapat penegakan hukum kejahatan lintas batas yurisdiksi negara dan kejahatan siber yang memerlukan kerja sama bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance) dan ekstradisi, di mana penanganannya juga perlu pendekatan multidisiplin ilmu,” katanya dalam seminar tersebut.
Menurut dia, kajian hukum saat ini harus didekati dengan multidisiplin ilmu, seperti kriminologi, sosiologi, antropologi, psikologi, psikiatri, ilmu forensik, dan budaya. (ERIKA KURNIA)