JAKARTA, KOMPAS – Pengelolaan sumber daya alam sejatinya untuk menyejahterakan rakyat, namun realita di lapangan tidaklah demikian. Di era otonomi daerah, regulasi perizinan yang saling tumpang tindih serta pengelolaan sumber daya alam yang tidak bijak justru menjadi persoalan yang tidak hanya merugikan secara ekonomi tetapi juga sosial. Untuk mengatasi hal itu, pembenahan regulasi perizinan dinilai penting.
Semula, pemberlakuan otonomi daerah sejak 1998 melalui kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah salah satunya agar pengelolaan sumber daya alam (SDA) oleh pemerintah daerah dapat langsung menyejahterakan masyarakat di daerah.
“Namun, harapan tidak selalu sesuai dengan realitas politik di lapangan. Melalui pemilihan kepala daerah secara langsung, terjadi pemindahan kekuasaan terhadap kontrol atas tanah, tambang, serta SDA lain dari pemegang kebijakan di Jakarta kepada ‘raja-raja kecil’ di daerah,” kata Direktur Eksekutif The Habibie Center Hadi Kuntjara, di Jakarta, Kamis (28/3/2019).
Hadi menyampaikannya dalam seminar bertajuk “Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam” yang diselenggarakan oleh The Habibie Center dan didukung oleh Hanns Seidel Foundation.
Selain Hadi, hadir pula Daniel Heilmann selaku Chairman Hanns Seidel Foundation Indonesia. Kemudian narasumber lain di seminar, yaitu Direktur Program dan Riset The Habibie Center Mohammad Hasan Ansori, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif, Direktur Eksekutif Research Institute for Mining and Energy Economics (ReforMiner) Komaidi Notonegoro, dan Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Faisal Basri.
Menyoroti soal pengolahan SDA, khususnya pertambangan, Mohammad Hasan Ansori menyampaikan, sejak era otonomi daerah dan desentralisasi, sudah lebih dari 10.000 izin usaha pertambangan (IUP) yang diterbitkan. Dalam praktiknya, IUP ini saling tumpang tindih. Bahkan tak hanya antar IUP tetapi juga dengan izin di sektor lain seperti izin di kehutanan dan perkebunan.
“Secara tidak langsung, tumpang tindih IUP disebabkan oleh batas wilayah yang tidak jelas serta adanya unsur kesengajaan dari pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan lebih,” ujar Ansori.
Unsur kesengajaan yang dimaksud, ada yang terjadi saat menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada), yaitu perusahaan memberi dukungan finansial kepada kandidat agar dijadikan prioritas IUP di wilayah tertentu meski sudah ada IUP perusahaan lain. Ada pula perusahaan yang memberi insentif langsung kepada partai penguasa untuk meloloskan IUP.
“Bagi perusahaan pertambangan yang sudah mendapatkan IUP, ada juga yang diharuskan untuk memberikan sejumlah setoran tertentu agar perusahaan tersebut langgeng dan aman. Jika tidak, akan dipersulit atau diganggu operasionalnya. Bahkan IUP tidak akan diperpanjang atau ditindih dengan IUP lainnya,” papar Ansori.
KPK mendukung pernyataan Ansori. Laode menambahkan, adanya pembiayaan ilegal untuk pemenangan kandidat di pilkada akhirnya membuat kandidat itu ketika terpilih, korupsi. Dari studi potensi benturan kepentingan dalam pendanaan Pilkada 2017, ada kesenjangan di antara biaya pencalonan diri dan harta kekayaan diri para calon kepala daerah.
“Dari 150 responden (calon kepala daerah), sebesar 47,3 persen responden mengeluarkan dana pilkada melebihi kemampuan harta kas yang dimiliki. Kemudian sebesar 3,33 persen responden mengeluarkan dana pilkada melebihi total harta kekayaan yang dimiliki. Sementara itu, ada 1 responden dengan total harta minus yang menolak menyebut pengeluaran dana pribadinya dalam pilkada 2017,” papar Laode.
Minyak dan gas
Sejalan dengan persoalan rumitnya perizinan, Komaidi Notonegoro menyampaikan sudut pandang serupa di sektor minyak dan gas (migas). Menurutnya, masalah nonteknis seperti regulasi masih menjadi kendala utama dalam kegiatan hulu migas Indonesia.
“Dari data Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, saat ini terdapat 373 jenis izin usaha di bidang migas yang jika dikonversikan ke waktu, membutuhkan sekitar 2,5 tahun hingga 3 tahun untuk melakukan kegiatan eksplorasi hingga eksploitasi dengan melibatkan sekitar 17 kementerian dan lembaga,” tutur Komaidi.
Keadaan lain yang harus disadari adalah mengenai kebutuhan konsumsi minyak yang jauh lebih tinggi dari cadangan minyak. Komaidi menyampaikan, saat ini konsumsi minyak mencapai 1,6 juta barel per hari, sementara kemampuan produksi minyak hanya sebesar 800.000 barel per hari.
“Namun, dari 800.000 barel hanya 480.000 barel yang dapat digunakan oleh masyarakat karena selebihnya dikembalikan kepada perusahaan. Dengan begitu, kita harus tetap mengimpor sekitar 1,2 juta barel per hari untuk memebuhi kebutuhan,” ujar Komaidi.
Terlebih lagi, di 2030 kebutuhan minyak Indonesia akan mencapai 2,6 juta barel per hari sementara produksi hanya 500.000 barel per hari. Tentu impor akan semakin meningkat.
Dalam kesempatan yang sama, Faisal Basri menyampaikan hal senada. Ia mengatakan, berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy, pada 2017, konsumsi energi untuk bahan bakar, sebagian besar, yaitu 44,1 persen mengandalkan minyak.
“Maka, menghadapi kebutuhan minyak yang semakin tinggi, diperlukan cadangan baru melalui eksplorasi besar-besaran dan investasi berkelanjutan untuk menambah atau mempertahankan profil produksi minyak jangka panjang,” kata Faisal.
Pembenahan regulasi serta koordinasi antarkementerian dan lembaga perlu segera dilaksanakan untuk menyelesaikan segala persoalan, khususnya masalah perizinan yang menjadi dasar dari pengelolaan SDA secara demokratis. Dengan demikian, akan ada jaminan keberlanjutan SDA bagi generasi mendatang. (SHARON PATRICIA)