Perketat Batasan Mikroplastik dalam Buangan Limbah
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Yayasan Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperketat regulasi terkait batasan kandungan mikroplastik pada industri pengolahan kertas daur ulang berbahan impor. Desakan ini didasarkan temuan mereka atas kandungan mikroplastik pada Kali Brantas serta buangan air limbah dari pabrik-pabrik tersebut.
Meski belum ada riset langsung dampak mikroplastik pada manusia, beberapa argumen menyebut mikroplastik atau fragmen plastik berukuran kurang dari 5 milimeter itu bisa memicu infeksi saluran pencernaan. Selain itu, plastik yang mengikat kontaminan di alam akan berbahaya apabila terpapar organ dalam sehingga mempengaruhi hormon dan metabolisme tubuh.
Di sisi lain, kandungan mikroplastik belum jadi parameter pengukuran baku mutu kualitas air limbah yang dibuang ke sungai. ”KLHK perlu memperketat baku mutu buangan limbah industri kertas dan plastik dengan menambahkan parameter uji mikroplastik ke dalam baku mutu yang ada sebagai upaya pengendalian sumber mikroplastik,” kata Rulli Mustika Adya dari Ecoton.
KLHK perlu memperketat baku mutu buangan limbah industri kertas dan plastik dengan menambahkan parameter uji mikroplastik ke dalam baku mutu.
Ecoton menyebut, mikroplastik tak hanya berasal dari limbah dan sampah permukiman, seperti serat fiber tekstil. Temuan terkini, pengecekan kandungan mikroplastik di Kali Brantas menemukan ada 293-2.499 partikel per liter dan di saluran pembuangan 11 limbah industri kertas daur ulang didapati 3.896 partikel per liter. Rangkaian riset itu menunjukkan, pada 73 persen sampel ikan di sungai didapati mikroplastik dalam saluran pencernaan.
Temuan itu membuktikan bahwa pencemaran mikroplastik bersumber pada air dan lambung ikan. Karena itu, pengendalian pencemaran mikroplastik dinilai mendesak dan jadi kewajiban industri untuk memastikan buangan limbahnya bersih dari mikroplastik.
Tindakan cepat
Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi mengungkapkan, temuan telah dilaporkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Perindustrian. Harapannya, pemerintah mengambil tindakan cepat dan pencegahan.
Di antaranya adalah agar KLHK tidak memberi rekomendasi kepada Menteri Perindustrian untuk impor ”sampah gado-gado” dengan izin impor kertas bekas sebagai bahan baku pabrik kertas. Dari izin itu, pada praktiknya ditemukan material ikutan berupa sampah rumah tangga mencapai 60-70 persen.
Praktik ini, lanjut Prigi, melanggar UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Menteri Nomor 31 Tahun 2016 Tentang Ketentuan Impor Limbah Non-B3.
Saat ditemui, Selasa lalu, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menekankan bahwa impor sampah dilarang. Pihak KLHK bersama instansi terkait membahas revisi Peraturan Menteri Perdagangan No 31/2016 tersebut untuk memastikan material impor bebas dari residu ataupun sampah ikutan.
Prigi menuturkan, material ikutan berupa sampah tersebut didominasi dari Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Terkait temuan ini, Duta Besar AS Joseph R Donovan Jr mengatakan akan mengeceknya.
”Saya belum membaca laporannya. Saya belum tahu informasi ini. Pertama, saya akan cari tahu situasi dan akan kembali memberi tanggapan,” ujarnya. Prigi ditemui di sela-sela penyerahan dana hibah senilai Rp 18 miliar dari USAID kepada enam organisasi masyarakat sipil terkait pengelolaan sampah.