JAKARTA, KOMPAS — Guna mengatasi penyebaran hoaks atau informasi palsu yang banyak muncul menjelang pemilu, pemerintah dan pengelola platform media sosial berupaya menurunkan konten berisi hoaks atau mengecek kualitas informasi di media sosial. Upaya itu akan berhasil secara optimal jika diikuti dengan langkah serius untuk menekan aspek ”permintaan” hoaks melalui literasi digital.
Literasi digital ini dibutuhkan karena tingkat literasi di Indonesia masih rendah. Survei penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) 2015 menunjukkan, siswa Indonesia berada di urutan ke-64 dari 72 negara dalam kompetensi literasi.
Masyarakat dengan literasi digital yang baik akan mampu menyaring dan bersikap bijak atas segala informasi yang beredar di media. Kondisi ini secara otomatis akan mengurangi hoaks karena ”peminat” informasi jenis itu akan semakin sedikit.
Head of Cybersecurity Policy Facebook Nathaniel Gleicher, Rabu (27/3/2019), di Jakarta, mengatakan, integritas pemilu, termasuk di Indonesia, menjadi prioritas Facebook. Menurut dia, sistem otomatis Facebook setiap menit menghapus jutaan akun palsu. Namun, dengan makin sulitnya memanfaatkan akun palsu di Facebook, aktor-aktor membajak akun seseorang dan menggunakannya untuk menyebarkan hoaks.
Praktik ini lebih sulit dideteksi sistem sehingga perlu didukung tenaga ahli. Terkait itu, Facebook sudah melibatkan 30.000 investigator di seluruh dunia. Selain itu, untuk menjaga pemilu di Indonesia dari campur tangan asing, Facebook melarang pemasangan iklan politik yang dibeli pihak asing.
Untuk melindungi masyarakat dari disinformasi pemilu, Kepala Kebijakan Publik dan Hubungan Pemerintah Google Indonesia Putri R Alam mengatakan, Google membuat sistem pemeringkat berdasarkan kualitas informasi. Pada algoritma mesin pencari, Google menempatkan sumber-sumber tepercaya di urutan teratas.
Literasi digital
Saat ini, media sosial telah menjadi lahan subur bagi penyebaran informasi palsu. Kajian Hunt Allcott dan Matthew Gentzkow yang dipublikasikan di Journal of Economic Perspectives (2017), berjudul ”Social Media and Fake News in the 2016 Election”, menunjukkan, menjelang Pilpres AS, pengguna internet paling banyak mengakses informasi palsu lewat media sosial (41,8 persen). Sebaliknya, informasi dari portal berita daring yang diakses lewat media sosial hanya sebanyak 10,1 persen.
Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Agustus 2018-Februari 2019, mengidentifikasi ada 771 hoaks di ruang daring. Sebanyak 181 konten di antaranya terkait isu Pemilu 2019, baik mengenai pasangan capres-cawapres maupun partai politik peserta.
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Viryan Aziz, menuturkan, ada dua jenis hoaks yang kini dikhawatirkan, yakni yang menyerang peserta pemilu dan penyelenggara pemilu.
Ketua Indonesia Cyber Security Forum Ardi Sutedja berpendapat, kasus penyebaran hoaks di platform media sosial tergolong ”perang” kognitif yang mampu mengubah opini seseorang.
Terkait hal itu, Ketua Komite Litbang Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia Santi Indra Astuti menyatakan, langkah jangka pendek untuk mengatasi hoaks, yakni melalui penutupan akun, penegakan hukum, dan pengecekan fakta, tetap diperlukan. Namun, upaya itu perlu diiringi dengan menggiatkan literasi digital oleh semua pihak, seperti pemerintah, organisasi masyarakat, dan tokoh agama.
”Saya berharap pemerintah membuat cetak biru yang jelas mengenai pengembangan manusia Indonesia di era digital melalui pembentukan kurikulum literasi digital yang melibatkan banyak pihak dan gerakan masif berkesinambungan,” kata Santi.
Selama ini, gerakan literasi digital biasanya dilakukan melalui penyebaran informasi terkait ciri dan jenis hoaks serta imbauan untuk tak mudah menyebarkan informasi tanpa lebih dulu memverifikasinya. Di sejumlah negara, upaya literasi ini dilakukan dengan kampanye secara masif dan melalui kurikulum pendidikan di sekolah. (FAJAR RAMADHAN/M IKHSAN MAHAR/INGKI RINALDI)