Raup Untung dari Hutan Bakau Lestari
Setelah ditetapkan sebagai perhutanan sosial, 14 Februari 2017, pengelolaan hutan lestari seluas 76.370 hektar atau lebih luas dari wilayah DKI Jakarta yang 66.50 hektar menjadi tantangan bagi warga di kawasan pesisir Padang Tikar, Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Jakaria (33), salah satu peternak madu, tampak sibuk memanen madu kelulut yang dibudidayakan di Desa Padang Tikar 1, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar, Rabu (13/3/2019). Madu itu dihasilkan dari lebah tanpa sengat atau kelulut (Trigona sp).
Madu tersebut dibudidayakan Kelompok Madu Kelulut Trigonal sejak dua tahun lalu. Kelulut dibudidayakan dalam 35 kotak dan bisa dipanen sebulan sekali. Hasil setiap kali panen 8 kg dengan harga jual Rp 130.000 per kg.
Sebelum mengenal budidaya madu kelulut, warga hanya memanen dari sarang alami di pohon kelapa. Hasilnya pun tak menentu, berbeda dibanding saat mulai dibudidayakan.
Budidaya madu kelulut mulai diperkenalkan Sahabat Masyarakat Pantai (Sampan) Kalimantan, yakni lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi warga di sana sejak 2017. ”Kami dilatih memindahkan koloni kelulut ke tempat khusus untuk dibudidayakan.
Kelulut banyak mendiami bunga kelapa dan di getah-getah pohon. Koloni dipindahkan ke dalam kotak khusus. Sejak itulah kami mulai membudidayakan kelulut,” kata Jakaria.
Ada tiga kelompok peternak madu kelulut di desa itu dengan total jumlah anggota 43 orang. Kelompok peternak itu dikoordinasi Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) Desa Padang Tikar 1. Madu yang dihasilkan lantas dipasarkan melalui Koperasi Madu Mandiri.
Ketua Koperasi Madu Mandiri Saroni mengatakan, penghasilan dari penjualan madu semua kelompok cukup menjanjikan. Setiap bulan total produksi madu kelompok-kelompok itu rata-rata 50 kg dengan keuntungan bersih Rp 6,5 juta.
Selain madu kelulut, daerah pesisir yang memiliki luas hutan bakau dan hutan rawa gambut hingga 76.370 hektar itu juga memiliki potensi budidaya kepiting bakau. Kepiting dibudidayakan dalam keramba, seperti yang dilakukan di Desa Batu Ampar.
”Budidaya kepiting bakau ini tidak mengubah habitat awal. Jadi, dengan membudidayakan kepiting bakau, kami juga otomatis ikut menjaga hutan mangrove di wilayah pesisir,” kata Suheri (35), anggota Kelompok Kepiting 1 Batu Ampar.
Di sana ada dua kelompok pembudidaya kepiting dengan jumlah anggota 95 orang. Setiap kelompok memiliki 45 keramba di hutan bakau dengan total luas keramba mencapai 1,5 hektar. Dalam satu keramba dapat dikembangbiakan 600 kepiting bakau.
Perhutanan sosial
Perekonomian di kawasan pesisir Padang Tikar mulai bergeliat setelah kawasan itu disahkan menjadi perhutanan sosial pada 14 Februari 2017 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penetapan ini merupakan bagian dari skema proteksi, produksi, dan pembangunan hutan desa.
Wilayah yang masuk dalam bentang pesisir Padang Tikar didominasi gambut dan mangrove. Kawasan itu terdiri atas 10 desa, yakni Batu Ampar, Tanjung Harapan, Sungai Jawi, Ambarawa, Teluk Nibung, Sungai Besar, Tasikmalaya, Padang Tikar 1, Medan Mas, dan Nipah Panjang.
Sebelum disahkan menjadi perhutanan sosial, potensi yang ada, seperti madu kelulut dan kepiting bakau, sulit dikembangkan secara optimal oleh masyarakat. ”Sebab, tidak ada akses legal bagi masyarakat. Mereka merasa waswas saat melakukan kegiatan ekonomi karena tidak ada kepastian usaha,” kata Dede Purwansyah, Direktur Eksekutif Sampan.
Dede menambahkan, sebelumnya masyarakat juga sulit mengakses sumber daya alam di sana karena terkendala status kawasan hutan lindung, hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan produksi konversi. Padahal, mereka sudah sejak lama tinggal di wilayah itu.
Upaya mewujudkan perhutanan sosial dirintis secara bertahap sejak 2012. Setahun kemudian, masyarakat didampingi LPHD sebagai persyaratan membentuk perhutanan sosial.
Setelah penetapan perhutanan sosial, tantangan terbesar bagi masyarakat di sana adalah bagaimana mengelola hutan secara lestari. Pada saat yang sama, keberadaan hutan itu juga harus menghadirkan kesejahteraan bagi warga.
Budidaya madu kelulut dan kepiting bakau merupakan bagian dari menjawab tantangan itu. Kelompok-kelompok usaha mulai dibentuk dan akhirnya dapat mengakses dana Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLU Pusat P2H). Untuk tahap pertama, dana untuk pengembangan kepiting bakau mencapai Rp 17 miliar. Kemudian, untuk madu kelulut, dari usulan Rp 1,3 miliar, yang sudah dikucurkan Rp 161 juta.
Hasilnya, kini kapasitas produksi madu kelulut secara keseluruhan di 10 desa mencapai 2,5 ton per bulan. Ada lebih dari 5.000 kotak tempat membudidayakan kelulut. Untuk pengembangan madu kelulut, dalam waktu dekat akan dibuat penambahan sarana produksi hingga 10.000 kotak sehingga produksi madu diperkirakan bisa meningkat hingga 5 ton per bulan.
Untuk kepiting bakau, kapasitas produksi tangkapan alam mencapai 200 ton per tahun. Sementara budidaya kepiting di 13 keramba menghasilkan 17 ton per tahun.
Potensi itu terus dikembangkan melalui rencana pengembangan produksi dengan memperluas areal budidaya hingga 4.000 hektar. Dengan pengembangan itu, produksi diperkirakan bisa mencapai 30.107 ton per tahun.
Di luar dua komoditas itu, kawasan pesisir Padang Tikar juga memiliki potensi perkebunan kelapa seluas 9.448 hektar. Total produksi mencapai 133,78 juta biji per tahun atau 3.540 biji per hektar.
Komoditas kelapa itu diolah dan dijadikan berbagai produk turunan. Sabut kelapa diolah menjadi tali dengan produksi 40 juta kg per tahun, media tanam 66,8 juta kg per tahun, dan pupuk kompos 26,7 juta kg per tahun. Tempurung kelapa dengan potensi 26,7 juta kg per tahun diolah menjadi briket arang dengan produksi 5,3 juta kg per tahun.
Potensi daging buah kelapa 37,5 juta kg per tahun, diolah menjadi crude coconut oil, minyak goreng, dan virgin coconut oil dengan produksi 13,4 juta liter per tahun. Air buah kelapa diolah menjadi coco jelly, potensi produksi 40 juta kg per tahun.
Selain sejumlah komoditas itu, mulai dikembangkan pula ekowisata yang mengedepankan aspek rekreasi, penelitian, konservasi, dan petualangan. Dikembangkan pula kekayaan kuliner yang dipadukan dengan budaya khas pesisir.
Peningkatan kapasitas
Peningkatan kapasitas masyarakat di sana juga tidak lepas dari peran Yayasan Inisiatif Dagang Hijau (IDH), institusi nirlaba yang mendukung rencana pertumbuhan hijau di Indonesia dan memperluas akses pasar komoditas ke dunia internasional.
Lorens dari West Kalimantan Landscape Manager Yayasan IDH mengatakan, untuk mengembangkan potensi di daerah itu, pada 2017 dilakukan studi kelayakan pengelolaan usaha bersama dan membangun bisnis modelnya. Hasil studi kelayakan itu, ada beberapa usaha yang dinilai potensial, yakni kepiting bakau, arang kelapa, madu kelulut, dan udang vaname.
Selanjutnya dibentuk kelompok di setiap desa untuk mengembangkan komoditas sesuai keunggulan wilayahnya. Setelah itu, dilakukan peningkatan kapasitas masyarakat dan akses kerja sama untuk pemasarannya.
Kelompok kepiting, misalnya, difasilitasi magang ke Bali dan Jepara, Jawa Tengah, untuk belajar pembenihan kepiting bakau. Mereka juga dihubungkan dengan akses pemasaran di Jawa. Bahkan, ada yang sudah diekspor ke China dan Malaysia.
Kini, masyarakat bisa meraup untung dari potensi alam yang ada di sana, sementara hutan juga terjaga tetap lestari. (Emanuel Edi Saputra)