Surat Keterangan Perekaman KTP-el Bisa untuk Memilih
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi atau MK melalui putusannya membolehkan surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik digunakan untuk memilih pada hari pemungutan suara Pemilu 2019, 17 April 2019.
Selain itu, MK juga memutuskan memperpanjang waktu bagi pemilih dengan kondisi khusus yang hendak pindah memilih. Hal lain, MK memperpanjang waktu penghitungan suara, dari semula berakhir pada hari yang sama menjadi dapat diperpanjang hingga 12 jam setelah hari pemungutan suara.
Putusan MK bernomor 20/PUU-XVII/2019 tersebut disampaikan dalam persidangan yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, di Jakarta, Kamis (28/3/2019), atas pengujian terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Uji materi diajukan oleh masyarakat sipil dan akademisi, di antaranya Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, mantan Komisioner KPU Hadar Navis Gumay, dan Feri Amsari dari Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas.
”Menyatakan frasa ’kartu tanda penduduk elektronik’ dalam Pasal 348 Ayat 9 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, termasuk pula surat keterangan perekaman kartu tanda penduduk elektronik yang dikeluarkan oleh dinas kependudukan dan catatan sipil atau instansi lain yang sejenisnya yang memiliki kewenangan untuk itu,” tutur Anwar.
Adanya putusan ini membuat ada kelonggaran bagi masyarakat untuk memilih. Jika semula untuk memilih di tempat pemungutan suara (TPS) harus membawa KTP elektronik (KTP-el), kini calon pemilih yang belum memiliki KTP-el tetap bisa memilih asalkan membawa surat keterangan yang menjelaskan orang itu telah melakukan perekaman data kependudukan untuk KTP-el dari dinas kependudukan dan catatan sipil atau instansi lain yang berwenang melakukan perekaman.
MK dalam pertimbangannya yang dibacakan hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai, menempatkan KTP-el sebagai bukti identitas dapat memilih dalam pemilu sudah tepat dan proporsional. Salah satunya, karena kecil peluang untuk menyalahgunakannya. Hanya saja, yang jadi persoalan, belum semua warga negara yang memiliki hak pilih memiliki KTP-el.
”Kondisi demikian dapat merugikan hak memilih warga negara yang sejatinya bukanlah disebabkan oleh faktor kesalahan atau kelalaiannya sebagai warga negara. Jika syarat memiliki KTP-el tetap diberlakukan bagi warga negara yang sedang menyelesaikan urusan data kependudukan, hak memilih mereka tidak terlindungi,” tuturnya.
Berangkat dari hal itu, agar hak memilih warga dimaksud tetap dapat dilindungi dan dilayani dalam pemilu, dapat diberlakukan syarat dokumen berupa surat keterangan perekaman KTP-el yang diterbitkan oleh dinas yang menyelenggarakan urusan kependudukan dan catatan sipil.
”Jadi, bukan surat keterangan yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh pihak lain,” katanya, menambahkan.
Selain itu, MK juga menyatakan frasa ”paling lambat 30 (tiga puluh) hari” dalam Pasal 210 Ayat 1 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ”paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemungutan suara kecuali bagi pemilih karena kondisi tidak terduga di luar kemampuan dan kemauan pemilih karena sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta karena menjalankan tugas pada saat pemungutan suara ditentukan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum hari pemungutan suara”.
Pasal 210 semula mengatur soal daftar pemilih tetap yang dapat dilengkapi daftar pemilih tambahan, tetapi daftar tambahan itu harus masuk paling lambat 30 hari sebelum hari pemungutan suara. Daftar pemilih tambahan merujuk pada pemilih yang memutuskan pindah memilih ke tempat pemungutan suara lain karena keadaan tertentu.
Maka, dengan putusan MK itu, pemilih masih bisa mengurus pindah memilih ke tempat pemungutan suara lain hingga 7 hari sebelum hari pemungutan suara. Namun, hal itu hanya berlaku untuk pemilih yang sakit, tertimpa bencana alam, menjadi tahanan, serta harus menjalankan tugas saat pemungutan suara.
Hal lain, MK menyatakan frasa ”hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara” dalam Pasal 383 Ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ”hanya dilakukan dan selesai di TPS/TPSLN yang bersangkutan pada hari pemungutan suara dan dalam hal penghitungan suara belum selesai dapat diperpanjang tanpa jeda paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara”.
Dengan adanya putusan ini, berarti waktu penghitungan suara yang semula harus tuntas pada hari pemungutan suara, yaitu 17 April 2019, dapat diperpanjang paling lama 12 jam sejak berakhirnya hari pemungutan suara atau paling lambat pukul 12.00, pada 18 April 2019. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)