Tambang Ilegal Mengancam Kesehatan
Tambang ilegal mulai menimbulkan petaka. Kasus infeksi saluran pernapasan dan penyakit kulit melonjak. Suhu udara dan air serta keasaman air meningkat.
JAMBI, KOMPAS— Masifnya aktivitas tambang minyak ilegal di Jambi menuai kerusakan lingkungan dan merebaknya sejumlah penyakit. Tanpa penanggulangan yang cepat dan terpadu, bencana lebih parah akan segera terjadi.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batanghari Elfi Yennie mengatakan, berbagai penyakit mulai dialami warga di lokasi tambang di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi. Dalam setahun terakhir terjadi lonjakan kasus penyakit tertentu, yakni infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan infeksi kulit. Ini merupakan indikasi dampak pencemaran lingkungan.
Di Desa Pompa Air, Bajubang, kasus ISPA melonjak hampir 300 persen. Sepanjang tahun 2018, jumlah penderita mencapai 635 orang, naik drastis dibanding tahun 2017 yang hanya 215 penderita.
Kasus infeksi kulit di Desa Pompa Air mencapai 177 orang pada 2018. Tahun sebelumnya, hanya 110 penderita. ”Peningkatan kasus yang signifikan ini terkait erat dengan maraknya aktivitas tambang minyak ilegal,” ujar Elfi, Rabu (27/3/2019).
Kepala Puskesmas Penerokan, yang melayani pasien di wilayah areal tambang, Gusrinety menuturkan, lonjakan kasus penderita itu terjadi dalam setahun terakhir. ”Sebelumnya, kasus penyakit dari tahun ke tahun stabil. Baru setahun terakhir terjadi lonjakan,” katanya.
Praktik tambang liar mulai marak tahun 2017. Lebih dari 1.500 lokasi pengeboran menyebar di Desa Pompa Air dan Bungku.
Aktivitas tambang liar itu sebagian berlangsung dalam wilayah kerja pertambangan PT Pertamina (Persero) yang memperoleh izin pinjam pakai Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Syaifuddin. Selebihnya berlangsung di lahan masyarakat yang menjadi penyangga tahura.
Tak layak huni
Hasil survei kesehatan lingkungan terbaru menyimpulkan, lokasi tambang ilegal itu tidak layak lagi dihuni makhluk hidup. Berbagai jenis satwa sudah tidak lagi ditemukan di sana. Penyebabnya adalah lingkungan yang tercemar.
Suhu udara dan air meningkat tajam, sedangkan keasaman (pH) air semakin tinggi. Limbah minyak hasil tambang menggenang di mana-mana, meresap ke air tanah dan sungai-sungai di sekitarnya. Kondisi itu tidak memungkinkan untuk keberlangsungan kehidupan satwa.
Berdasarkan pantauan Kompas, tidak tampak lagi ikan di Sungai Danau Merah yang bermuara ke Sungai Tembesi dan Batanghari. Air sungai tersier itu berminyak pekat dengan warna coklat kemerahan.
Burung dan serangga tidak tampak lagi di antara tanaman. Sebagian tanaman karet dan sawit mati di Desa Pompa Air dan Bungku yang menjadi pusat aktivitas tambang ilegal.
”Pencemaran lingkungan sangat mengerikan. Dampaknya, satwa-satwa mati,” kata Parlaungan Nasution, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari.
Aktivitas tambang liar di wilayah itu tidak terkendali. Minyak hasil tambang kerap menyembur ke permukaan tanah. Di situ para pekerja mengumpulkan minyak ke dalam jeriken dan ember. Limbahnya bercampur lumpur, meresap ke dalam tanah dan mengalir ke sungai.
Berdasarkan hasil survei yang dilaporkan Pemerintah Kabupaten Batanghari pada Januari, sumur-sumur warga tercemar. Air sumur didapati ber-pH 5, tidak layak konsumsi karena terlalu asam.
Suhu di bawah permukaan Sungai Danau Merah mencapai 36 derajat celsius, tidak memungkinkan satwa air bertahan hidup. Suhu air lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara. Hal itu akibat cemaran minyak di air sungai.
Akibat aktivitas pengeboran minyak itu, tingkat kebisingan mencapai 63,93 desibel, melampaui ambang batas yang bisa ditoleransi, yakni 55 desibel. Tingkat kelembaban udara pun mencapai 68,02 persen, di atas ambang batas 40-60 persen.
(ITA)