JAKARTA, KOMPAS — Terorisme menjadi ancaman laten di Indonesia dan dunia. Persoalan yang kini dihadapi Pemerintah Indonesia adalah mengatasi perkembangan ideologi atau paham radikal dan pergerakan teroris secara acak yang sulit diantisipasi.
Persoalan mutakhir terorisme di Indonesia ini dibahas dalam Seminar Publik Radikalisme dan Ekstremisme di Asia, Pengalaman, Analisis, dan Strategi untuk Mencegahnya oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) di Jakarta, Kamis (28/3/2019).
”Kelompok teror bergerak dinamis. Paham radikal, khususnya terorisme, berkembang karena cara bermasyarakat di Indonesia yang semula toleran menjadi intoleran. Masyarakat permisif (terbuka) pada intoleransi dan membuka ruang paham radikal sehingga gerakan ekstrem yang berujung pada terorisme mudah masuk,” ucap Kepala Subdirektorat Pengawasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Chairil Anwar.
Terorisme berkembang karena cara bermasyarakat di Indonesia yang semula toleran menjadi intoleran. Masyarakat permisif pada intoleransi serta membuka ruang paham radikal sehingga gerakan ekstrem yang berujung pada terorisme mudah masuk
Chairil memaparkan, terorisme senantiasa mewarnai sejarah perjalanan Indonesia, mulai orde lama, orde baru, reformasi sampai sekarang. Ancaman dan kekerasan itu terus menghantui masyarakat, kedamaian, dan kedaulatan bangsa.
BNPT membuat kebijakan dan strategi serta koordinasi penanggulangan terorisme. Dua strategi yang terus digencarkan, ialah kontra-radikalisasi dan deradikalisasi.
Pendekatan bersifat lunak itu dilakukan melalui deputi pencegahan dan deradikalisasi. Bagi individu yang sudah terpapar radikalisme dan terorisme akan dibina. Hal tersebut berlaku juga bagi mantan narapidana terorisme, keluarga, dan jaringan.
BNPT juga menggandeng masyarakat sipil, pemuka agama, tokoh adat, dan mantan teroris dalam menangkal paham radikal. Selain itu, diadakan seminar, lokakarya, dan lomba.
”Media sosial dimanfaatkan untuk menyebarluaskan konten positif dengan narasi atau pesan damai. Tahun ini (2019) akan dilakukan program khusus di Jawa Timur. Sebelumnya, program serupa sudah dilakukan di NTB dan Sulteng,” katanya.
Pergeseran
Tidak ada jaminan bahwa eks teroris ataupun kombatan yang pergi ke daerah konflik, seperti Irak, Suriah, dan Filipina selatan, yang telah menyatakan kesetiaan pada NKRI tidak akan kembali jadi teroris.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden Sylvana Apituley menyebutkan, terjadi pola baru dalam aksi teror di Indonesia. Pola itu, ialah pelibatan perempuan, anak-anak, dan keluarga dalam aksi teror.
Ia mencontohkan, pengeboman gereja di Surabaya menunjukkan pola baru tersebut. Pengeboman itu melibatkan satu keluarga, terdiri dari ayah, ibu, dan anak.
Selain itu, ketika terjadi penangkapan teroris di Sibolga, Sumatera Utara, hal serupa kembali terjadi. Istri dari teroris meledakkan diri bersama anaknya.
”Perlu pendekatan dengan perspektif jender, HAM, perempuan, dan anak dalam menyikapi persoalan tersebut,” ujarnya.
Perempuan dan anak harus dilibatkan dalam setiap upaya pencegahan dan deradikalisasi.