Warga Bekasi Mulai Mandiri Mengelola Sampah
Kesadaran masyarakat untuk menangani dan menyelesaikan masalah sampah rumah tangga mulai tumbuh di Kota Bekasi, Jawa Barat. Penanganan sampah yang sebelumnya dianggap sebagai urusan pemerintah perlahan mulai berubah. Kini, sampah dinilai sebagai kotoran manusia yang harus diselesaikan secara mandiri.
Kompleks perumahan Tytyan Kencana, RT 012, RW 006, Kelurahan Marga Mulya, Bekasi Utara, pada Kamis (28/3/2019) siang, tampak bersih dan tertata rapi. Tidak terlihat sampah berceceran di perumahan warga. Bahkan, kotak pembuangan sampah sementara juga tak ditemukan di sana.
Warga di perumahan itu memilih membuang sampah rumah tangganya secepat mungkin saat matahati terbit. Tujuannya selain menjaga lingkungan agar tetap bersih, juga mengantisipasi hidupnya hewan pembawa bakteri, seperti tikus, lalat, dan nyamuk, yang dapat menjadi sumber penyebaran penyakit.
Kesadaran warga untuk menyelesaikan masalah sampah itu tidak lepas dari hadirnya teknologi pemusnah sampah atau insinerator di wilayah itu pada awal Januari 2019. Mesin sederhana itu dirancang oleh Joko Susilo (57), salah satu warga kompleks yang menguasai teknologi perakitan mesin pemusnah sampah.
Meski sederhana, teknologi itu setiap hari mampu memusnahkan hingga 1 ton sampah. Warga pun tak perlu merogoh kocek untuk mengelola sampah rumah tangganya karena teknologi itu dimanfaatkan secara gratis.
Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) RT 012 Agus Semedi menuturkan, kesadaran masyarakat menangani sampah secara mandiri sebenarnya sudah dimulai sejak 2006. Kesadaran itu terjadi saat Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengelola Sampah Kota Bekasi dinilai lambat mengangkut sampah di perumahan warga sehingga sampah sering kali dibiarkan menumpuk berhari-hari.
Atas inisatif bersama, warga yang berjumlah 100 kepala keluarga itu membayar tukang sampah dengan menyetor iuran tiap bulan untuk mengangkut sampah dari setiap rumah warga. Sampah itu dibuang di salah satu lahan kosong yang letaknya sekitar 1 kilometer dari Perumahan Tytyan Kencana.
Sistem itu terhenti ketika lahan kosong kembali dimanfaatkan pemiliknya pada 2013. Untuk menjaga tradisi baik itu, warga secara swadaya membeli komponen teknologi pemusnah sampah yang kemudian dirakit Joko Susilo menjadi teknologi pembakar sampah. Teknologi itu sempat ditentang sebagian warga karena asap hasil pembakaran mencemari udara dan menimbulkan aroma yang menyengat.
Kini, melalui inovasi tiada henti, Joko Susilo kembali menciptakan teknologi insinerasi yang telah dilengkapi wet scrubber atau alat penyaring debu dan asap. Alat itu didesain untuk mengubah asap menjadi uap air. Adapun debu dialirkan ke drum berisi air untuk dimanfaatkan sebagai material konstruksi.
Joko mengakui, meskipun belum ada pengujian secara ilmiah untuk mengukur dampak lingkungan akibat pembakaran sampah dari teknologi itu, kemungkinan terjadi pencemaran lingkungan sangat kecil. Hal itu dibuktikan dengan mulai diliriknya teknologi pemusnah sampah itu dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Pada September 2018, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Provinsi Jawa Barat menggelontorkan dana Rp 550 juta untuk membangun gedung tempat pembuangan sampah atau TPS 3R KSM 12 Kota Bekasi, yang didesain dua lantai berbentuk huruf V. Selain itu, disediakan pula gerobak sampah, tong sampah, dan sejumlah teknologi lain untuk mengelola sampah daur ulang. Bangunan itu juga dapat digunakan warga sebagai balai rapat dan kegiatan sosial lain.
”Walaupun bangunan ini menjadi tempat pengelolaan sampah, saya pastikan bersih dan sehat karena pengelolaan sampah dilakukan secara baik. Buktinya tidak ada bau sampah sama sekali,” kata Joko.
Bergeser
Joko menuturkan, setelah gedung itu selesai dibangun dan teknologi pemusnah sampah dioperasikan, mereka mengedukasi warga untuk mengubah kebiasaan dengan meminta masyarakat untuk tak lagi menggunakan jasa pengangkut sampah. Strategi itu ternyata efektif karena sebagian besar warga tidak hanya mandiri membuang sampah rumah tangga, tetapi juga bersedia memilah sampah terlebih dahulu sebelum dibawa ke TPS 3R.
Warga diberi insentif dari hasil penjualan sampah daur ulang yang telah dipilah. Insentif disesuaikan dengan besar kecilnya kontribusi sampah plastik, paku, dan logam yang dapat disulap menjadi rupiah.
Rohana (30), salah satu warga sekitar, mengatakan mulai memilah sampahnya secara mandiri sekitar satu bulan yang lalu. Kesadaran memilah itu didasarkan kesepakatan warga dalam rapat forum KSM RT 12.
”Rumitnya mungkin karena harus pilah dulu, setelah itu sendiri angkut (ke TPS 3R). Namun, bagi saya yang tiap hari di rumah, hal itu tidak masalah karena gratis juga, kok,” ucapnya.
Menurut Agus, meskipun teknologi itu sederhana dan masih dalam ruang lingkup yang terbatas, dia percaya kesadaran yang telah dibangun bersama warga RT 012 perlahan akan menyebar. Teknologi itu diharapkan menjadi alternatif Pemerintah Kota Bekasi mengatasi masalah sampah perkotaan yang volumenya tiap tahun kian meningkat.
Pada tahun 2019, sampah Kota Bekasi mencapai 1.900 ton per hari. Naik dari dua tahun sebelumnya yang hanya sebesar 1.700 ton per hari. Dari jumlah itu, hanya 900 ton yang diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir Sumur Batu setiap hari.
Hal itu menjadi masalah karena jumlah truk yang terbatas dan kapasitas TPA Sumur Batu sudah tak mampu menampung sampah. Padahal, TPA itu telah diperluas dari 16 hektar (ha) menjadi 19 ha (Kompas, 22/2/2019).
Kemandirian warga dalam mengelola sampah perlu diapresiasi dan diperhatikan pemerintah. Seperti kata Joko, segala kekurangan teknologi yang dibuat warga selayaknya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk difasilitasi dan disempurnakan.