Memasuki usianya yang ke-55 tahun ini, Golkar sudah membuktikan diri sebagai partai politik yang harus tetap diperhitungkan di Indonesia. Naik-turun dukungan terhadap partai ini sepanjang periode reformasi menunjukkan pemilih Golkar juga mengalami regenerasi.
Pemilu 2019 akan menjadi pemilu kesebelas yang diikuti Golkar jika dihitung dari kontestasi politik sejak era Orde Baru. Pengalaman politik semakin meneguhkan Golkar bak pohon beringin yang kuat, besar, dan kokoh.
Kekokohan Golkar juga terlihat dari daya tahan partai itu dalam menghadapi sejumlah krisis politik yang menerpa. Berbagai krisis itu bahkan kemudian disadari menjadi modal sosial Golkar, yang salah satu buahnya adalah kemenangan partai itu pada Pemilu 2004. Melalui pemilu itu, Golkar mampu membuktikan bahwa gempuran politik yang mereka terima setelah Orde Baru berakhir tidak membuat partai ini harus meninggalkan gelanggang politik. Daya tahan Golkar dalam menghadapi gempuran politik itu semakin mempertebal kekuatan dan dukungan publik terhadap mereka. Sejumlah krisis politik yang dilalui Golkar juga membuktikan bahwa partai ini tak mudah ditaklukkan.
Guncangan politik pertama yang dialami Golkar pada era reformasi terjadi sesaat setelah berakhirnya Orde Baru. Partai ini menjadi sasaran kemarahan sebagian masyarakat, bahkan ada wacana membubarkan partai itu. Namun, krisis ini berhasil dilalui Golkar yang saat itu dipimpin Akbar Tandjung.
Daya tahan Golkar dalam menghadapi gempuran politik itu semakin mempertebal kekuatan dan dukungan publik terhadap mereka. Sejumlah krisis politik yang dilalui Golkar juga membuktikan bahwa partai ini tak mudah ditaklukkan.
Guncangan berikutnya terjadi saat Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan dekret yang salah satu isinya adalah membekukan Golkar (22/7/2001). Golkar pun menentang dekret dengan meminta fatwa Mahkamah Agung (MA). MA memutuskan dekret presiden bertentangan dengan konstitusi dan Golkar pun kembali lolos dari guncangan ini.
Penetapan Akbar Tandjung sebagai tersangka kasus penyelewengan dana non-budgeter Bulog menjadi guncangan berikutnya. Namun, Golkar mampu melalui kasus ini, bahkan memenangi Pemilu 2004. Akbar pun akhirnya divonis bebas melalui putusan kasasi MA.
Konflik kepengurusan menjadi guncangan lain di tubuh Golkar. Dualisme musyawarah nasional yang menghasilkan dua kepemimpinan, yaitu di bawah Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, cukup menguras energi partai ini. Konflik yang berlangsung sekitar dua tahun itu membuat Golkar tak melalui jalan yang mudah untuk mengonsolidasikan diri menghadapi pilkada langsung serentak pada 2017. Guncangan itu berakhir dengan munaslub di Bali yang menghasilkan Setya Novanto sebagai ketua umum. Namun, proses hukum terhadap Novanto dalam kasus korupsi proyek KTP elektronik membuat Golkar harus kembali melakukan transformasi kepemimpinan. Terpilihnya Airlangga Hartarto menjadi solusi selanjutnya bagi Golkar dalam menghadapi guncangan itu.
Pengalaman menghadapi berbagai krisis dan guncangan politik inilah yang memperkuat daya tahan Golkar sekaligus modal politik partai itu pada Pemilu 2019 ini.