JAKARTA, KOMPAS — Upaya memperkuat ketahanan energi sektor hulu minyak dan gas bumi tak cukup mengandalkan metode pengurasan tingkat lanjut (enhanced oil recovery/EOR). Tanpa eksplorasi untuk mendapat cadangan baru berskala besar, Indonesia masih akan sulit keluar dari ketergantungan terhadap impor minyak mentah. Eksplorasi dan enhanced oil recovery adalah dua hal yang sebaiknya tak terpisahkan.
EOR adalah sebuah metode pengurasan minyak dengan cara tertentu, seperti penyuntikan ke sumur minyak menggunakan bahan kimia atau uap. Cara ini diterapkan untuk mengangkat minyak yang bersifat kental atau berat agar bisa keluar ke permukaan. Apabila penerapannya tepat, EOR dapat mempertahankan produksi, bahkan menaikkan produksi minyak di sebuah lapangan.
Menurut pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, EOR bisa menjadi solusi untuk menambah produksi migas di dalam negeri. Namun, butuh kondisi-kondisi tertentu agar EOR bisa diterapkan secara optimal. Pasalnya, penerapan EOR membutuhkan biaya besar dengan tingkat keberhasilan yang sulit diperkirakan.
”Oleh karena itu, EOR belum cukup apabila bicara dalam konteks ketahanan energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak. Cara lain adalah mengoptimalkan eksplorasi untuk menemukan cadangan baru berskala besar. Apalagi, migas yang diproduksi hari ini berasal dari lapangan-lapangan tua yang produktivitasnya sudah menurun,” ucap Pri Agung, Kamis (28/3/2019), di Jakarta.
Pri Agung menambahkan, kondisi tertentu yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan penerapan EOR di dalam negeri adalah dengan pemberian insentif, baik yang mengenai perpajakan, fiskal, maupun skema bagi hasil. Kondisi itu sama dengan yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan kegiatan eksplorasi di dalam negeri. Dengan situasi seperti itu, EOR dan eksplorasi adalah dua hal yang tak terpisahkan dalam konteks mendorong peningkatan produksi migas di Indonesia.
Sementara itu, Suyitno Padmosukismo dari Bimasena the Mines and Energy Society menambahkan, program EOR harus didorong menjadi program pemerintah. Dengan demikian, EOR tidak hanya sekadar wacana, tetapi sudah dalam taraf penerapan secara penuh. Penerapannya bisa dilakukan di lapangan-lapangan migas milik PT Pertamina (Persero).
”EOR sulit terlaksana tanpa kerjasama dan sinergi yang baik dengan para pihak, seperti pemerintah, antarkontraktor migas, dan industri kimia untuk keperluan EOR. Sebaiknya harus menjadi program pemerintah untuk mewujudkan ketahanan energi dalam negeri,” ujar Suyitno.
Dalam hal pengembalian cadangan migas (reserve replacement ratio/RRR), sepanjang 2018 angkanya sudah mencapai 105,6 persen. Artinya, dari setiap 1 barel minyak mentah yang dikuras, penemuan cadangan baru sedikit lebih banyak atau sebesar 1,056 barel. Namun, hal itu dianggap belum cukup ideal dalam usaha menambah cadangan migas Indonesia.
Deputi Perencanaan pada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Jafee Arizon Suardin mengatakan, angka RRR sebaiknya setinggi mungkin. Hanya saja, capaian pada 2018 lalu jauh lebih baik ketimbang capaian pada tahun 2014 sampai 2017, ketika angka RRR rata-rata hanya 60 persen. Setidaknya RRR sebesar 100 persen tidak mengurangi cadangan migas yang sudah ada.
”Tingkat pengembalian cadangan sangat penting. Idealnya adalah setinggi-tingginya. Namun, angka 100 persen itu jauh lebih baik ketimbang sebelumnya yang hanya 60 persen,” kata Jafee.
Data SKK Migas menyebutkan, sepanjang 2018 sampai 2023 sudah ada komitmen investasi hulu migas senilai 2,08 miliar dollar AS atau setara Rp 29,4 triliun. Angka itu terdiri dari 950 juta dollar AS untuk kegiatan produksi dan 1,13 miliar dollar AS untuk eksplorasi. Tahun ini akan ada 57 pengeboran sumur eksplorasi.