JAKARTA, KOMPAS — Setelah sempat menggelar pameran di Bentara Budaya Jakarta pada 3-13 Oktober 2018, enam kartunis, yaitu Mice, Beng Rahadian, Didie SW, Ika W Burhan, Rahardi Handining, dan Thomdean akan menggelar Pameran Kartun Ber(b)isik di Bentara Budaya Bali pada 30 Maret – 9 April 2019. Pameran akan dibuka pada Jumat (29/3/2019) pukul 18.30 Wita.
Seperti pameran sebelumnya, keenam kartunis mencoba mengingatkan kembali tradisi kritik dalam kartun. Dengan gayanya masing-masing, para kartunis ingin menghadirkan permasalahan aktual di negeri ini dalam sentilan lelucon yang tanpa kehilangan esensi kritiknya.
Mereka berusaha menyajikannya sesuai dengan semangat “zaman now“ dengan segala perubahannya yang begitu cepat. Mereka juga ingin mengajak generasi milenial untuk melakukan kritik secara santun sebagai anggota masyarakat yang beradab. Mereka juga ingin mengajak kita mengingat bahwa kemajuan bangsa memiliki dampak positif-negatif. Untuk itu diperlukan cara menyikapi secara bijak.
Pameran kali ini juga menyiratkan bahwa proses cipta kartun memerlukan kreativitas dan intensitas pencapaian yang tinggi, mengingat penyampaian dalam bahasa kartun bukan perkara yang mudah.
Kartunis Harian Kompas GM Sudarta (almarhum), dengan sosok Om Pasikom-nya pernah mengatakan, kadang kala kritik kartun atau karikatur kurang tajam. Karikatur yang tajam menurut Mas GM adalah, karikatur yang bisa membikin tersenyum orang atau siapa pun yang dikritik. Visi kartun lebih pada penyampaian perbaikan lewat cara “berteriak dalam bisikan“ bahwa ada yang perlu diperbaiki. Mungkin yang berbisik itu oleh sebagian telinga terdengar berisik.
Berbagai karya seni
Bagaimanapun, membuat kartun bukan sekadar menciptakan visual yang bisa memancing gelak tawa semata. Lebih dari itu, ada makna apa di balik kelucuan yang disuguhkan. Karya-karya mereka ditampilkan dalam bentuk kartun, lukisan, dan patung.
Beng dengan karyanya berjudul ”Jembatan Buaya”, misalnya, menampilkan gambar klasik kancil menyeberang sungai dengan memanfaatkan punggung-punggung buaya. Kancil tampak melompat di atas punggung buaya sembari melemparkan lembaran-lembaran uang kertas ke mulut buaya. Rupanya buaya zaman now harus disuap agar bersedia membantu kancil menyeberang.
Karya usil Beng lainnya berjudul ”Spiritualismilenial” yang menunjukkan seseorang tengah berdoa di atas layar telepon pintar. Kini, gadjet telah menjadi ”sembahan” baru manusia, setiap detik orang tak mau lepas darinya.
Didie SW, dengan karyanya berjudul ”Korupsi Kok Bangga”, mencoba menyentil para koruptor yang tidak punya rasa malu meskipun telah didandani dengan rompi kuning oleh penyidik. Kepala sang koruptor dan orang-orang di sekitarnya dilukiskan Didie meleyot, sebuah simbol kepalsuan, kebohongan, dan kebebalan.
Handining atau Heng memilih membuat mural yang menggambarkan sengkarutnya peredaran hoaks atau berita bohong. Mural itu ia beri judul bernada kegeraman...”Hoaxsoe For Money!”
Pameran Kartun Ber(B)isik memiliki nuansa berbeda dengan hadirnya patung-patung mini karya Ika W Burhan. Dengan patung-patung mungil lucu, Ika mencoba menggambarkan momen-momen politik yang lucu sekaligus mengharukan, salah satunya peristiwa saat dua calon presiden RI berpelukan lengkap dengan simbol-simbol para pendukung politiknya. Thomdean pun menyuguhkan kartun-kartun politik yang menjadi andalannya.
”Masa rezim Orde Baru menjadi lahan subur bagi para kartunis. Setelah itu, pascareformasi, mereka mengalami tekanan dari masyarakat, dan kini kartunis menghadapi tantangan baru di era perubahan medium,” ucap kurator Bentara Budaya, Efix Mulyadi.