Kementerian Keuangan Batalkan Regulasi Pajak Pelaku E-dagang
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik batal diberlakukan. Pertimbangan utamanya guna menghindari kegaduhan akibat peredaran informasi yang simpang siur.
”Ini diharapkan akan membuat masyarakat menjadi tenang dan tidak muncul lagi berbagai macam spekulasi mengenai isu-isu perpajakan di dunia digital,” kata Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Jumat (29/3/2019).
PMK No 210/2018 itu mengatur tata cara pemungutan pajak untuk mempermudah administrasi dan mendorong kepatuhan pelaku e-dagang demi menciptakan keadilan dengan pelaku usaha konvensional. Oleh karena itu, tak ada jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-dagang.
Pedagang dan penyedia jasa yang berjualan di platform e-dagang wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) final 0,5 persen dari omzet. PPh final dikenakan bagi pedagang dan penyedia jasa yang omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar per tahun. Sementara bagi yang memiliki omzet lebih dari Rp 4,8 miliar dalam setahun diwajibkan membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen.
PMK itu bukan dimaksudkan untuk mengejar target pajak, melainkan untuk menjangkau informasi untuk membangun ekosistem e-dagang. Ketika data penjual teridentifikasi, pembeli diharapkan mendapatkan jaminan akan ketersediaan dan kesesuaian barang. Selain itu, peraturan tersebut juga demi persamaan perlakuan antara pengusaha konvensional dan pengusaha e-dagang.
Sri Mulyani mengatakan, ada tiga pertimbangan yang menyebabkan PMK Nomor 201 Tahun 2018 batal diberlakukan, yaitu karena banyak beredar informasi yang simpang siur, pengumpulan data terhadap e-dagang sudah banyak dilakukan kementerian dan lembaga, serta sosialiasi perpajakan untuk ekonomi digital masih harus ditingkatkan.
”Kami melakukan penarikan saja seperti tidak ada PMK itu lagi,” kata Sri Mulyani.
Kendati PMK ditarik, kata Sri Mulyani, kewajiban membayar pajak bagi pelaku usaha tetap berlaku sesuai UU Perpajakan, baik PPh final 0,5 persen maupun PPN 10 persen. Mereka yang pendapatannya di bawah Rp 54 juta per tahun tidak kena pajak. Aturan perpajakan itu bersifat general sehingga berlaku untuk semua jenis pengusaha.
”Kewajiban bayar pajak, baik pengusaha konvensional, digital, maupun media sosial sama,” kata Sri Mulyani.
Kendati PMK ditarik, kewajiban membayar pajak bagi pelaku usaha tetap berlaku sesuai UU Perpajakan, baik PPh final 0,5 persen maupun PPN 10 persen.
Sri Mulyani menambahkan, setelah penarikan PMK Nomor 201 Tahun 2018, pemerintah akan fokus pada perbaikan basis data (database). Sistem infrastruktur berbasis teknologi informasi di lingkup Direktorat Jenderal Pajak akan diperbaiki secara bertahap. Tujuannya agar bisa lebih dalam melacak transaksi digital dan mengoptimalkan pertukaran data pajak otomatis (automatic exchange of information/AeoI).
Status quo
Menanggapi keputusan penarikan PMK, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, pengawasan kepatuhan terhadap pelaku usaha di sektor digital menjadi status quo. Padahal, dalam rangka menciptakan level playing field, upaya yang ditempuh dan dihasilkan relatif sudah cukup baik.
”Bagi saya ini mengkhawatirkan. Saat kita mendukung upaya negosiasi dan mencari formal terbaik, seharusnya melangkah maju,” ujar Prastowo.
Prastowo mengatakan, PMK No 201/2018 dapat memberikan penegasan bagi pelaku e-dagang dan pelaku di lapangan. Beberapa hal sudah diakomodasi dan menunjukkan langkah-langkah maju.
Pemerintah lebih baik menunda pemberlakuan beberapa bulan ke depan, bukan menarik sepenuhnya. Infrastruktur bisa dipersiapkan dan mematangkan konsep dasar serta sosialisasinya.
”Koordinasi dan sinergi yang lebih baik antarpemangku kepentingan diperlukan supaya ada kebijakan dan peta jalan yang komprehensif, termasuk menjawab beberapa hal yang selama ini dipersoalkan seperti media sosial,” kata Prastowo.
Menurut Prastowo, keputusan menarik PMK ini bisa dipahami di tengah konstelasi politik yang rawan menimbulkan kegaduhan dan penggiringan opini yang merugikan beberapa pihak. Kebijakan perpajakan bagi pelaku e-dagang termasuk isu yang cukup sensitif.