Tiga orang saksi dalam kasus dugaan korupsi dana kapitasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan di Puskesmas Porong, Sidoarjo, Jawa Timur mencabut berita acara pemeriksaan. Mereka menyatakan keterangan yang diberikan bukan fakta sebenarnya karena disampaikan dalam kondisi tertekan.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·4 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Tiga orang saksi dalam kasus dugaan korupsi dana kapitasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan di Puskesmas Porong, Sidoarjo, Jawa Timur mencabut berita acara pemeriksaan. Mereka menyatakan keterangan yang diberikan bukan fakta sebenarnya karena disampaikan dalam kondisi tertekan.
Ketiga saksi tersebut yakni Dwi Ariyani, Diah Savitri, dan Sumaiyah, Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bertugas di Puskesmas Porong. Mereka memberikan kesaksian untuk perkara korupsi dengan terdakwa Kepala Puskesmas Porong Esti Handayani.
“Saya bingung, takut, dan tertekan waktu itu. Saya disodori surat pernyataan oleh petugas dan diminta menandatanganinya,” ujar Sumaiyah dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Jumat (29/3/2019).
Saya bingung, takut, dan tertekan waktu itu. Saya disodori surat pernyataan oleh petugas dan diminta menandatanganinya
Dalam Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) yang disusun oleh penyidik Polda Jatim, ketiga saksi menyatakan keberatan dan tidak ikhlas dana jasa pelayanan (jaspel) mereka dipotong 15 persen per bulan. Namun, dalam persidangan, mereka menyatakan telah berbohong saat diperiksa penyidik karena takut dijadikan tersangka.
Menyikapi pencabutan kesaksian di BAP itu, hakim I Wayan Sosiawan memerintahkan tim jaksa penuntut umum Kejaksaan Tinggi Jatim yang dipimpin oleh Gunawan agar menindaklanjutinya pada sidang berikutnya. Jaksa diminta menghadirkan penyidik yang memeriksa ketiga saksi tersebut untuk membuktikan keterangan yang disampaikan.
“Jika terbukti keterangan yang disampaikan di BAP tidak benar, keterangan yang akan dipakai adalah yang disampaikan di persidangan. Dan apabila terbukti penyidik melanggar ketentuan penyidikan, akan dikenai sanksi,” kata I Wayan Sosiawan.
Esti menjadi terdakwa karena memerintahkan pemotongan dana jasa pelayanan (jaspel) untuk tenaga medis dan non medis di Puskesmas Porong yang bersumber dari dana kapitasi BPJS Kesehatan. Dia juga menetapkan nilai pemotongan sebesar 15 persen per penerima jaspel.
Esti menjadi terdakwa karena memerintahkan pemotongan dana jasa pelayanan untuk tenaga medis dan non medis di Puskesmas Porong yang bersumber dari dana kapitasi BPJS Kesehatan.
Dalam pemeriksaan, terungkap bahwa tidak semua pegawai menerima kebijakan Esti. Akan tetapi, mereka tidak berani menyampaikannya secara terbuka. Alasannya beragam, ada yang takut pada atasan, ada pula yang merasa tidak enak karena pegawai lainnya tidak protes. Hingga suatu hari, ada pegawai yang melapor ke Polda Jatim dan penyidik melakukan operasi tangkap tangan.
Dalam sidang jaksa menghadirkan enam saksi para ASN di Puskesmas Porong. Empat saksi di antaranya yakni Sumaiyah, Diah Savitri, Dwi Ariyani, dan Didik merupakan pegawai yang mengaku keberatan dipotong dana jasa pelayanannya kepada penyidik Polda Jatim. Namun dalam sidang, hanya saksi Didik yang membenarkan BAP-nya.
Sumaiyah mengaku ikhlas meski setiap bulan, jatah jaspelnya dipotong Rp 50.000 dari total dana diterima sekitar Rp 300.000 hingga Rp 400.000. Pernyataan senada disampaikan Diah Savitri yang mengaku ikhlas dipotong Rp 300.000 hingga Rp 400.000 dari total dana jaspel Rp 2 juta per bulan. Adapun Dwi Ariyani dipotong Rp 200.000 hingga Rp 300.000 dari total dana jaspel Rp 2 juta per bulan.
Diah menjelaskan, dana jaspel yang diterima petugas medis maupun nonmedis yang melakukan pelayanan terhadap pasien BPJS sejatinya diterima utuh oleh masing-masing petugas. Setelah dana cair mereka diminta menyetorkan 15 persennya ke bendahara puskesmas.
Dana jaspel yang diterima petugas medis maupun nonmedis yang melakukan pelayanan terhadap pasien BPJS sejatinya diterima utuh oleh masing-masing petugas
Uang setoran terkumpul sekitar Rp 15 juta per bulan. Rinciannya, sebanyak Rp 11 juta digunakan membayar gaji sebanyak 21 pegawai honorer. Setiap pegawai menerima Rp 500.000 per orang. Sisa dana Rp 4 juta disimpan oleh bendahara untuk keperluan sosial seperti menjenguk karyawan atau keluarga karyawan yang sakit, meninggal dunia, dan melahirkan.
Uang juga dipakai membeli cenderamata sebagai kenangan untuk pegawai yang pindah tugas atau purna tugas dan tamu yang berkunjung ke puskesmas. Tidak ada uang yang dipakai untuk kepentingan pribadi terdakwa Esti Handayani.
Diah menjelaskan puskesmas menerima dana APBD Kabupaten Sidoarjo sebesar Rp 900 juta. Namun uang itu hanya cukup untuk membayar biaya operasional seperti pemakaian listrik, air, dan alat tulis kantor. Dari 21 tenaga honorer puskesmas, hanya dua orang yang menerima gaji dari APBD Kabupaten Sidoarjo.
Kehadiran pegawai honorer ini sangat diperlukan karena puskesmas memberikan pelayanan 24 jam penuh. Pegawai harus bekerja dalam tiga kelompok kerja (shift). Para ASN merasa terbantu dengan keberadaan tenaga relawan ini karena jumlah masyarakat yang harus dilayani juga banyak mengingat Sidoarjo yang berpenduduk 2,5 juta jiwa hanya memiliki satu rumah sakit umum daerah.
Para ASN merasa terbantu dengan keberadaan tenaga relawan ini karena jumlah masyarakat yang harus dilayani juga banyak
Semakin Marak
Kasus korupsi dengan modus pemotongan dana kapitasi BPJS pada pos anggaran jasa pelayanan tenaga medis dan nonmedis pada fasilitas kesehatan tingkat pertama terus bertambah. Sebelumnya, mantan Kepala Dinkes Jombang Inne Silestyowati dan Bupati Jombang Nyono Suharli dihukum karena terbukti korupsi yang bersumber dari dana kapitasi BPJS untuk jaspel seluruh puskesmas di Jombang.
Mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik Nurul Dholam dipidana enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, subsider enam bulan kurungan. Terdakwa terbukti korupsi dana kapitasi BPJS Kesehatan untuk jasa pelayanan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama di 32 puskesmas di Kabupaten Gresik senilai Rp 2,4 miliar.
Saat ini tim penyidik Polda Jatim menahan Kepala Puskesmas Widang, Kabupaten Tuban, Shinta Puspita karena disangka memotong jaspel pegawainya. Dia ditangkap dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan Senin (25/3/2019) dengan barang bukti uang Rp 171 juta.