JAKARTA, KOMPAS - Produksi dan persebaran konten yang disinformatif dan misinformatif, atau disebut begitu saja sebagai hoaks di sebagian platform media sosial, cenderung telah meresahkan dalam beberapa waktu terakhir. Upaya pemberantasannya menghadapi sejumlah tantangan, terutama menjelang kontestasi politik di ajang Pemilu 2019.
Pengajar Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Dr. Firman Kurniawan Sudjono yang ditemui pada Rabu (27/3/2019) petang hingga malam di Jakarta menyebutkan, kondisi khusus setiap negara dalam upaya penanggulangan hoaks mestilah diperhatikan. Ini jika dikaitkan peran sentral platform media sosial dalam mengatasi hal tersebut lewat rekayasa teknologi yang mereKa ciptakan.
Firman merujuk Arnold Pacey dalam bukunya The Culture of Technology (1983) yang menyebutkan bahwa persoalan teknologi bukanlah semata perkara keteknikan. Akan tetapi juga aspek budaya dan organisasi yang khas di setiap negara.
Ia mencontohkan adaptasi dan tingkat penerimaan robot dalam kehidupan sehari-hari oleh sebagian masyarakat Jepang yang relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan sebagian kebudayaan lain, dengan Eropa misalnya. Ini menunjukkan adanya aspek kultural yang berbeda dalam menanggapi teknologi yang relatif sama.
Terkait platform media sosial di Indonesia yang cenderung dipersepsikan sebagai ruang-ruang perkumpulan guna beroleh afirmasi dan bahkan konfirmasi, Firman menduga hal itu ada sebagian kaitannya dengan semacam rasa inferior tatkala berhadapan dengan teknologi atau temuan bangsa lain, utamanya dari belahan dunia Barat. Ini membuat nyaris segalanya masuk tanpa daya kritis serta tanpa filter dan lantas sebagian memberikan anggapan bawah apapun yang ada di jejaring internet sebagai kebenaran.
Menurut Firman, ini seperti ditulis Tom Nichols (2017) dalam buku The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why It Matters.
“Mereka (sebagian orang pada saat ini) merasa mempunyai pengetahuan yang sama jumlahnya dengan para ilmuwan itu sendiri sehingga mereka tidak segan berbantahan dengan pakar, merasa lebih tahu, bahkan mendikte bagaimana pakar itu (seharusnya) bekerja,” sebut Firman.
Pada bagian lain, Firman juga menyebutkan bahwa upaya penanggulangan hoaks idealnya dilakukan dengan juga mengandalkan teknologi, sebagaimana teknologi itu juga yang telah memungkinkan persebaran hoaks dalam besaran relatif masif. Apalagi, imbuhnya, dalam konteks hari ini dimana setiap tim sukses kandidat paslon cenderung tidak siap kalah.
Ia menuturkan, jika dalam kondisi normal, pengawasan oleh publik dengan pemberdayaan teknologi dapat dianggap cukup. Akan tetapi dalam kondisi saat ini, ditambah teknologi yang memang belum sempurna dan cenderung menimbulkan celah, membuat upaya menyempurnakan dan memperbaiki teknologi secara terus menerus guna mengatasi berbagai kemungkinan dimanfaatkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab mestilah harus dilakukan.
“Jadi sebenarnya, problem bahwa masyarakat belum literate (terliterasi) dan sebagainya, itu tidak selalu bisa bertumpu disitu. Karena secara teknologi sendiri, perangkat itu sendiri tidak sempurna,”sebut Firman.
Sebelumnya pada Januari lalu, pengelola Facebook dalam sesi Press Circle: Election Integrity ’Pemuda Memilih’ yang diselenggarakan di Jakarta, memastikan sejumlah langkah untuk menghadapi persebaran konten hoaks. Sebagian di antaranya adalah dengan dengan melibatkan pemeriksa fakta pihak ketiga yang disertifikasi Poynter, sebagai jaringan pemeriksa fakta independen.