Protes Pemberhentian Pengurus Persma Suara USU Berlanjut
Oleh
Nikson Sinaga / Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberhentian pengurus pers mahasiswa Suara Universitas Sumatera Utara oleh Rektorat Universitas Sumatera Utara mendapat kecaman dari berbagai pihak. Tindakan sewenang-wenang tersebut dinilai mengerdilkan pemikiran kritis mahasiswa di ruang akademik.
Kecaman salah satunya muncul dari Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ) yang menilai keputusan tersebut tidak mencerminkan perilaku akademisi. “Pers mahasiswa adalah ruang untuk berpikir serta berekspresi kritis dan merdeka bagi seluruh warga kampus," kata Bahrun, perwakilan Presidium FPMJ, Kamis (28/3/2019) di Jakarta.
Karena itu, FPMJ mengecam tindakan Rektorat USU yang membubarkan dan memecat pengurus Suara USU. Selain melakukan kesewenang-wenangan, Rektorat USU juga dinilai telah memberikan stigmatisasi negatif terhadap kaum LGBT. FPMJ mendesak Rektorat USU agar tidak mengintervensi setiap kegiatan jurnalistik pers mahasiswa.
Tolak pemberhentian pengurus
Di Medan, pers mahasiswa USU juga berunjuk rasa menolak pemberhentian 18 pengurus oleh rektorat di Kampus USU, Medan, Sumatera Utara. Setelah Diberhentikan akibat menerbitkan cerpen yang dinilai mengandung unsur pornografi, seluruh pengurus pers mahasiswa diminta meninggalkan sekretariat mereka di kampus.
Para pengurus Suara USU bersama sejumlah mahasiswa sejak Kamis pagi mengeluarkan barang-barang mereka dari ruang sekretariat. Mereka lalu menyampaikan aspirasi dengan berorasi dan membentangkan sejumlah poster yang meminta agar kampus tidak mengekang kebebasan berekspresi mahasiswa.
“Langkah Rektorat USU menghentikan seluruh pengurus Suara USU adalah bentuk pengekangan ruang berekspresi mahasiswa. Kami hanya menerbitkan cerpen yang merupakan karya sastra,” kata Pemimpin Umum Suara USU Yael Stefani Sinaga.
Langkah Rektorat USU menghentikan seluruh pengurus Suara USU adalah bentuk pengekangan ruang berekspresi mahasiswa.
Yael menuturkan, rektor awalnya meminta mereka mencabut cerpen berjudul “Ketika Semua Menolak Kehadiran Diriku di Dekatnya”, tetapi mereka menolak karena alasannya tidak tepat. “Kami tidak melihat ada unsur pornografi dalam cerpen itu. Kami juga hanya mengangkat realitas sosial melalui karya sastra, tidak ada maksud kampanye orientasi seksual tertentu,” kata Yael.
Rektor USU Runtung Sitepu menyatakan, beberapa cerpen sebelumnya juga sudah dipantau oleh rektorat dan cenderung mengandung unsur pornografi. Pemberhentian pengurus Suara USU dilakukan oleh rektor setelah bertemu dan meminta tanggapan dari pengurus Suara USU, Senin (25/3/2019). Runtung menyatakan, karya Yael tersebut mengandung unsur pornografi. Cerpen itu bercerita tentang kehidupan sosial seorang perempuan penyuka sesama jenis atau lesbian.
Pemimpin Redaksi Suara USU Widya Hastuti mengatakan, mereka akan terus berunjuk rasa menolak pemberhentian mereka dari kepengurusan secara sepihak oleh rektor. Sesuai Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Suara USU, pemberhentian kepengurusan dilakukan melalui rapat umum anggota.
Menurut Widya, selama ini kampus berperan dalam pembiayaan saja. Mereka mendapat biaya operasional Rp 20 juta hingga Rp 30 juta per tahun. “Namun, soal kepengurusan tidak pernah diintervensi oleh rektorat,” katanya.
Wakil Rektor I Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Kealumnian USU Rosmayati mengatakan, para pengurus Suara USU tidak jujur menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi. “Kami tidak pernah melakukan pengekangan berekspresi, diskriminasi kelompok minoritas, atau melakukan tindakan otoriter. Kami hanya meminta agar cerpen yang mengandung unsur pornografi dicabut, tetapi mereka menolak,” katanya.
Kami tidak pernah melakukan pengekangan berekspresi, diskriminasi kelompok minoritas, atau melakukan tindakan otoriter.
Menurut dia, cerpen yang mengandung unsur pornografi tidak hanya cerpen terakhir. Ada sejumlah cerpen lain yang lebih vulgar yang diterbitkan dalam kepengurusan sekarang dan kepengurusan sebelumnya. Cerpen lain yang dianggap lebih vulgar berjudul “Nyai” yang mendeskripsikan adegan pornografi secara rinci.
“Cerpen seperti itu bertentangan dengan nilai moral, kesopanan, dan keagamaan dan tidak pantas diterbitkan dalam lingkungan akademik,” kata Rosmayati.