RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Memastikan Keadilan bagi Korban
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
Selain untuk melindungi masyarakat, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga memastikan hak korban kekerasan seksual dipenuhi, termasuk upaya pemulihan korban.
JAKARTA, KOMPAS — Menjelang pemilihan presiden pada April mendatang, DPR didesak segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini memastikan keadilan dan pemenuhan hak korban serta menekankan terbentuknya sistem di masyarakat yang mencegah terjadi kekerasan seksual ataupun pelecehan.
Kekerasan seksual dapat terjadi di mana-mana, seperti rumah, sekolah, dan lembaga pemasyarakatan. ”RUU ini melindungi semua aspek rakyat Indonesia. Perempuan, anak, dan laki-laki,” kata Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati dalam diskusi publik ”Tantangan Mewujudkan Masyarakat Indonesia Tanpa Kekerasan: Mencari Solusi dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (28/3/2019).
Diskusi dihadiri aktivis gerakan perempuan, Kaukus Perempuan Parlemen RI, anggota DPR, dan tokoh-tokoh agama. Tujuan diskusi ini untuk mendesak agar Sidang Paripurna DPR bisa segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebelum pergantian pemerintahan.
Asfinawati memaparkan, dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, negara wajib menjamin keselamatan dan kesejahteraan semua anggota masyarakatnya. Terlebih, apabila disahkan, RUU ini merupakan bukti komitmen Indonesia yang sudah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU No 7/1984. Negara peratifikasi konvensi itu harus memiliki payung hukum, aturan turunan, dan sistem yang menerapkan pencegahan kekerasan seksual.
Kesetaraan relasi
Selain melindungi semua aspek masyarakat, kata Asfinawati, keberadaan RUU ini juga memastikan di setiap aspek masyarakat akan ada metode pencegahannya. Caranya adalah melalui pendidikan masyarakat tentang kesetaraan relasi dan saling menghormati.
Kekerasan dan pelecehan seksual terjadi akibat relasi kuasa, yaitu ketika ada pihak yang menganggap pihak lain lebih lemah secara fisik, jender, ataupun status sosial. Ketimpangan itu menjadikan kekerasan seksual dan pelecehan sebagai cara menunjukkan dominasi.
Anggota Komisi VIII DPR sekaligus anggota Panitia Kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, mengungkapkan, di dalam lembaga wakil rakyat itu ternyata masih ada legislator yang belum memahami makna kesetaraan jender dan hak asasi manusia. Akan tetapi, advokasi terus dilakukan agar DPR bisa satu suara mengesahkan RUU.
”Tidak ada satu jenis kelamin, jender, dan kelompok rentan yang boleh dilecehkan karena tubuh setiap orang harus dihormati, terlepas cara setiap orang mengekspresikan penampilannya,” kata Rahayu.
Ia mengatakan, adanya RUU ini juga untuk menyadarkan masyarakat bahwa terjadi kekerasan bukan karena kesalahan korban. Budaya Indonesia kerap menyalahkan korban dengan alasan memakai busana tertentu ataupun berada pada tempat tertentu pada jam larut malam. Hal ini tidak membangun empati masyarakat bahwa kekerasan seksual adalah perbuatan kriminal yang tidak boleh dilakukan.
Pemenuhan hak korban
Lebih penting lagi adalah pemenuhan hak korban atas keadilan. Selain mendapat bantuan hukum, korban juga harus mendapatkan pemulihan dan retribusi atau ganti rugi secara finansial. Rahayu mengatakan, biaya yang dikeluarkan oleh Kementerian Sosial untuk pemenuhan korban kekerasan seksual dan pelecehan hanya mencakup 7.000 orang. Padahal, Catatan Akhir Tahun 2018 Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan menyatakan ada 400.000 korban kekerasan seksual.
Selain mendapat bantuan hukum, korban juga harus mendapatkan pemulihan dan retribusi atau ganti rugi secara finansial.
Dari segi pelaku, tidak hanya diberi hukuman yang setimpal, tetapi juga mendapat rehabilitasi pola pikir agar tidak mengulangi perbuatannya. Data Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia melalui survei di semua provinsi pada kurun 2011-2015 mengungkapkan, 51 persen responden berpendapat bahwa kekerasan seksual selesai apabila pelaku menikahi korban. Padahal, ini justru mengakibatkan terjadi kekerasan berlanjut.
Sementara itu, Ketua Kongres Ulama Perempuan Indonesia Badriyah Fayumi mengatakan, kekerasan tidak sesuai dengan nilai agama. Apalagi kekerasan seksual menunjukkan perbuatan manusia yang tunduk pada nafsu dan memperlakukan manusia lain laksana hamba.
”Ajaran Islam mengatakan harus ada relasi setara, adil, dan manusiawi yang wajib diwujudkan oleh pemimpin,” ujarnya.