Akses sanitasi buruk dapat memperbesar risiko anak balita mengalami tubuh pendek atau stunting. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengancam bonus demografi yang akan didapat Indonesia pada 2020-2030.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS – Akses sanitasi buruk dapat memperbesar risiko anak balita mengalami tubuh pendek atau stunting. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat mengancam bonus demografi yang akan didapat Indonesia pada 2020-2030. Untuk itu, pemerintah dan multisektor diminta segera mengatasinya.
Desakan untuk mengatasi permasalahan stunting dideklarasikan oleh sejumlah pemerhati sanitasi dan lingkungan yang tergabung dalam “Gerakan NGO Indonesia Peduli Stunting”. Sejumlah organisasi yang hadir antara lain Yayasan Konservasi Way Seputih Lampung, Mitra Bentala Lampung, Ayo Indonesia Manggarai, dan Perkumpulan Keluarga Berencana (PKBI) Sumatera Barat.
“Kami mendorong agar pemerintah daerah dapat mencegah dan menangani stunting hingga ke tingkat desa,” kata juru bicara Gerakan NGO Indonesia Peduli Stunting M Taqiuddin, Jumat (29/03/2019), di Bandar Lampung.
Dia memaparkan, saat ini, prevalensi stunting di Indonesia 30,8 persen. Meski cenderung menurun, persentase itu dinilai masih berada di atas batas toleransi 20 persen yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut dia, sektor kesehatan, khususnya menyangkut pola hidup sehat, perlu menjadi perhatian. Pemerintah harus mampu memastikan bahwa setiap anak terpenuhi gizinya sejak 1.000 hari pertama kehidupan anak hingga berusia enam tahun. Tak hanya itu, mereka juga perlu mendapat akses sanitasi yang baik.
Taqiuddin mengungkapkan, selama ini, stunting banyak diderita oleh anak-anak yang tinggal di daerah dengan sanitasi buruk. Selain itu, latar belakang pendidikan keluarga juga berpengaruh terhadap pemberian makanan bergizi pada anak.
Dia berharap, upaya ini didukung oleh perguruan tinggi dan lembaga riset. Lembaga tersebut semestinya melakukan riset dan kajian terkait pencegahan dan penanganan stunting sebagai dasar bagi perencanaan dan pengembangan kebijakan percepatan penurunan stunting.
Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Way Seputih Febrilia Ekawati menuturkan, dalam jangka panjang, permasalahan stunting dapat mengancam bonus demografi. Ketiadaan sumber air bersih dan sanitasi layak menyebabkan bayi dan anak-anak rentan terkena penyakit seperti diare, cacingan, dan hepatitis A. Hal itu dapat menghambat tumbuh kembang anak dan memperbesar risiko anak balita mengalami tubuh pendek.
Selama ini, pihaknya bersama Stichting Nederlandse Vrijwilligers, organisasi asal Belanda, telah bekerja sama dengan Pemkab Pringsewu untuk mengatasi stunting. Pemerintah didorong mengalokasikan dana desa untuk membangun fasilitas sanitasi. Masyarakat juga didorong membangun fasilitas sanitasi, misalnya jamban sehat, secara swadaya.
Kepala Seksi Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas Kesehatan Lampung Asih Hendrastuti, saat dihubungi, menjelaskan, pihaknya bersama instansi terkait telah berupaya mengatasi stunting. Untuk memastikan anak mendapat gizi yang baik selama 1.000 hari pertama kehidupan, Dinas Kesehatan Lampung mengintensifkan pemeriksaan pada ibu hamil.
Selain itu, bayi yang baru lahir juga dipastikan mendapat asi, makanan penunjang asi, dan imunisasi. Meski begitu, kata Asih, stunting juga dipengaruhi oleh akses ketersediaan air bersih. Untuk itu, pihaknya selalu menekankan pada koordinasi lintas sektor.