Tanggul Laut Bukan Solusi Terbaik untuk Palu-Donggala
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tanggul laut dinilai bukan opsi terbaik untuk melindungi pesisir Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, terhadap ancaman tsunami pada masa mendatang. Selain berbiaya tinggi dan akan membebani anggaran rehabilitasi yang sebagian besar ditopang dari utang luar negeri, tanggul laut juga tidak ekologis,
Daripada membangun tanggul laut, pemerintah disarankan menanam mangrove dan hutan pantai, dikombinasikan dengan penataan ruang. Jika infrastruktur tanggul laut akan melemah kekuatannya seiring waktu, hutan pantai semakin tua dan rapat kian kuat.
Rekomendasi itu disampaikan para peneliti yang tergabung dalam Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI) di Jakarta, Kamis (28/3), menanggapi Rencana Induk Pemulihan dan Pembangunan Kembali Wilayah Pascabencana Provinsi Sulawesi Tengah yang disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Dalam dokumen rencana induk yang telah ditandatangani Wakil Presiden Jusuf Kalla ini disebutkan, rekonstruksi infrastruktur di Sulawesi Tengah dilakukan untuk mengurangi risiko bencana dengan konsep build back better terhadap ancaman tsunami. Hal itu salah satunya dilakukan dengan mempertimbangkan pembangunan tanggul laut. Dalam keterangan gambarnya disebutkan, tanggul laut itu mengacu usulan dari tim Japan International Corporation Agency (JICA).
”Sesuai keilmuwan dan kajian kami, mangrove terbukti efektif melindungi tsunami di Palu-Donggala pada kejadian yang lalu,” kata anggota IATsI yang juga ahli tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko.
Sesuai keilmuwan dan kajian kami, mangrove terbukti efektif melindungi tsunami di Palu-Donggala pada kejadian yang lalu.
Survei yang dilakukan Widjo dan tim menemukan, perumahan di Desa Kabonga dan Labuan Bajo, Kabupaten Donggala, selamat dari tsunami pada 28 September 2018 lalu karena terlindung hutan mangrove, padahal kawasan sekitarnya rusak. Hutan bakau dengan panjang 3 kilometer dan lebar 50-75 meter di dua area itu melemahkan energi dan ketinggian tsunami dari ketinggian 3-5 meter jadi 1-1,5 meter.
Kesaksian Desa Kabonga yang selamat dari tsunami juga didokumentasikan oleh Rahmadiyah Tria Gayathri dari Forum Sudut Pandang Palu dalam film dokumenter mereka. ”Dokumentasi ini sebagai respons perlawanan terhadap rencana pembangunan tanggul laut di Palu,” kata Rahmadiyah.
Momentum
Dalam Sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Lingkungan (United Nations Environment Assembly/UNEA) keempat di Nairobi, Kenya, beberapa waktu lalu, pengelolaan mangrove berkelanjutan adalah satu dari lima inisiatif Indonesia yang diterima sebagai resolusi bersama. Sejalan dengan resolusi itu, Indonesia berencana membangun pusat mangrove dunia (Kompas, 14 Maret 2019).
Salah satu alasan yang diusung delegasi Indonesia dalam UNEA keempat ini adalah mangrove juga menjadi pelindung pantai, baik dari abrasi maupun tsunami. Widjo mengatakan, diterimanya usulan Indonesia mengenai pentingnya mangrove dalam UNEA keempat ini seharusnya mejadi momentum untuk pelestarian dan pengembangannya, termasuk melindungi dari tsunami.
Dengan kombinasi hutan pantai dan penataan ruang, menurut Widjo, kawasan pesisir Indonesia yang rentan tsunami, seperti Palu-Donggala, seharusnya tidak perlu membangun tanggul laut. Apalagi, jika pembangunan infrastruktur tanggul ini harus didanai utang.
Sementara Ketua IATsI Gegar Prasetya memaparkan, tanggul laut tidak cocok dibangun di Palu-Donggala. ”Kami sudah menyampaikan usulan dari Tim Indonesia tentang solusi perlindungan Palu-Donggala dengan memakai mangrove kepada Kepala Bappenas. Saat ini masih menunggu respons lebih lanjut. Intinya, kami siap berkontribusi untuk mencari solusi yang lebih sesuai dengan konteks lingkungan, sosial, dan keterbatasan anggaran negara,” ujarnya.
Sebelumnya, para ahli tsunami Indonesia mengkritik rencana pembangunan tanggul laut di Palu-Donggala dengan tujuan memitigasi tsunami ke depan. Selain dinilai tidak efektif meredam dampak tsunami, biaya pembangunan tanggul yang mahal dan harus ditopang dari utang dianggap tidak efektif.
Sesuai dengan catatan tertulis yang dibuat ahli tsunami dari Kementerian Koordinator Maritim Rahman Hidayat, pertemuan dengan Menteri Perencanaan Pembangun Nasional pada 15 Februari 2019 menyepakati untuk memasukkan tim ahli Indonesia dalam mencari solusi mitigasi tsunami Palu-Donggala.
Usulan Jepang melalui Japan International Coorperations Agency/JICA tentang tanggul tsunami untuk Palu disebutkan belum final, tetapi kajian sepihak mereka. Konsep akhir akan diputuskan bersama dengan melibatkan tim ahli Indonesia.