Tanggul Ditolak, Pesisir Palu untuk Kawasan Konservasi
Sejumlah elemen masyarakat di Kota Palu, Sulawesi Tengah, tetap menolak rencana pembangunan tanggul di pesisir Teluk Palu sepanjang 7 kilometer. Wilayah itu harus dijadikan kawasan konservasi vegetatif dengan penanaman mangrove atau bakau.
Oleh
Videlis Jemali
·3 menit baca
PALU, KOMPAS — Sejumlah elemen masyarakat di Kota Palu, Sulawesi Tengah, tetap menolak rencana pembangunan tanggul di pesisir Teluk Palu sepanjang 7 kilometer. Wilayah itu harus dijadikan kawasan konservasi vegetatif dengan penanaman mangrove atau bakau.
Pandangan itu salah satunya dikemukakan Sekretaris Jenderal Pasigala Centre Andika di Palu, Sulteng, Jumat (29/3/2019). Pasigala Centre adalah konsorsium lembaga swadaya masyarakat untuk pengawasan penanganan pascabencana Sulteng.
Andika menilai, kawasan sempadan pantai, termasuk di Teluk Palu hingga Kabupaten Donggala, seharusnya dijadikan kawasan konservasi mangrove. ”Tsunami lalu seharusnya jadi pelajaran agar kawasan sempadan dikembalikan fungsinya untuk konservasi. Itu kawasan yang tak boleh direkayasa demi kepentingan apa pun,” katanya.
Andika mengatakan, lebar sempadan pantai yang harus dijadikan kawasan konservasi, berdasarkan jangkauan tsunami pada 28 September 2018, mulai dari 50 meter hingga 200 meter. Pemerintah memang menetapkan zona itu sebagai daerah terlarang untuk pembangunan hunian ataupun komersial.
Andika menegaskan, dengan dijadikan kawasan konservasi mangrove, wilayah pesisir memainkan banyak fungsi, antara lain pelindung dari abrasi dan tsunami, ekowisata, dan rumah bagi biota laut. ”Fungsi mitigasinya lebih lengkap dibandingkan dengan tanggul yang di banyak tempat hancur juga ketika terjadi tsunami atau abrasi,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pembangunan tanggul Teluk Palu dipertimbangkan dalam Rencana Induk Pemulihan dan Pembangunan Kembali Wilayah Pascabencana Sulteng. Rencana itu disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Dalam dokumen rencana induk yang telah ditandatangani Wakil Presiden Jusuf Kalla itu disebutkan, rekonstruksi infrastruktur di Sulteng untuk mengurangi risiko bencana mengusung konsep build back better pada ancaman tsunami. Langkah yang dipertimbangkan ialah membangun tanggul laut. Dalam keterangan gambar disebutkan, tanggul laut itu mengacu usulan tim Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) (Kompas, 29/3/2019).
Andika menjelaskan, khusus pada kasus tsunami 28 September 2018 lalu, hutan mangrove di Kelurahan Kabonga Besar, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, terbukti mampu meredam tsunami. Korban jiwa dan kerusakan rumah tak terjadi di tempat-tempat dengan tutupan mangrove yang rapat.
Di RW 002 Kelurahan Kabonga Besar, misalnya, rumah-rumah warga dilindungi hutan mangrove seluas 10 hektar. Tak ada yang rusak dan tidak ada korban jiwa. Padahal, ada rumah yang berjarak hanya 5 meter dari bibir pantai. Hal berbeda terjadi di RW 001 yang hutan mangrovenya agak tipis. Di lokasi itu, hantaman tsunami menghancurkan rumah dan menyebabkan satu warga meninggal.
Yusrianto (39), warga RT 001/RW 002, menyatakan, saat tsunami, air laut hanya dirasakan sebagai pasang di lokasi dengan hutan mangrove tebal. Material yang terbawa tsunami juga tertahan di akar-akar mangrove. ”Kalau pemerintah serius menata pesisir, jelas mangrove pilihannya. Murah dan berjangka panjang, tidak seperti tanggul yang mahal dan dalam perjalanan waktu pasti akan hancur,” ujarnya.
Cegah intrusi
Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Sulteng Saefullah Djafar menyatakan, berbagai simulasi telah dibuat untuk menentukan pilihan yang tepat dalam menangani kawasan pesisir pascatsunami. Menurut dia, yang tepat adalah kombinasi antara hutan mangrove dan tanggul.
Dalam berbagai kesempatan, Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto mengatakan, tanggul untuk mencegah dampak pasang air laut. Intrusi pasang air laut saat ini hingga 150 meter dari pasang terjauh sebelum gempa dan tsunami terjadi.
Arie mengatakan, tanggul yang akan dibangun berupa batuan bulat yang dilengkapi dengan serat karbon dengan ketinggian tak lebih dari 2 meter. Di bagian belakang tanggul dibangun taman, termasuk ditanami pohon-pohon. Lokasi itu akan jadi ruang terbuka hijau.