JAKARTA, KOMPAS - Terkuaknya rencana "pembelian suara" melalui serangan fajar yang akan dilakukan calon anggota legislatif petahana, Bowo Sidik Pangarso, merupakan fenomena puncak gunung es praktik jual beli suara di pemilu. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong Badan Pengawas Pemilu untuk lebih memperketat pengawasan aliran dana terkait kampanye.
KPK menangkap Bowo Sidik, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar, pada Kamis (28/3/2019). Terkait penangkapan itu, tim penyidik KPK juga menemukan 82 kardus dan dua kontainer berisi pecahan uang Rp 20.000 dan Rp 50.000 saat menggeledah kantor PT Inersia. Bowo Sidik merupakan komisaris utama dari perusahaan itu. Uang yang berjumlah Rp 8 miliar itu, sebagian sudah dimasukkan ke dalam ratusan ribu amplop yang diduga akan digunakan untuk serangan fajar (Kompas, 29/3/2019).
Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan, kejadian tersebut merupakan fenomena gunung es dari praktik politik uang. Ia meyakini serangan fajar tidak hanya dilakukan salah seorang caleg. Terkait dengan hal itu, peran Bawaslu menjadi sentral mengingat pengawasan peserta pemilu merupakan ranah lembaga tersebut.
“Saya lihat ini sebagai sinyal bahwa bisa semua orang melakukan seperti itu. Ini kebetulan cuma satu yang tertangkap. Saya sangat berharap pada Bawaslu harus jauh lebih giat melakukan pemantauan dan menindaklanjuti pelaporan. Kebetulan ini penyelenggara negara, kalau tidak kan KPK tidak bisa turun. Bawaslu semestinya aktif,” tutur Agus, Jumat (29/3).
Ia melanjutkan, KPK memang sudah memiliki kerja sama dengan Bawaslu. Namun, hal itu tidak berarti memberi ruang bagi KPK untuk menindak politik uang yang dilakukan peserta pemilu. “Ada polisi juga sebenarnya untuk penanganan. Saya sangat berharap kemudian mereka (Bawaslu dan Kepolisian) yang lebih aktif lakukan pengawasan,” ujar Agus.
Pada 3 Januari 2018, Kepolisian Negara RI sempat mengumumkan pembentukan Satuan Tugas Anti Money Politic. Kemudian, Bawaslu juga beberapa kali berkunjung ke KPK guna membahas persoalan politik uang. KPK juga menerima berbagai aduan terkait dugaan politik uang tapi kewenangan tindak lanjutnya terbatas.
Belum optimal
Secara terpisah, Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menilai kinerja Bawaslu sebagai pengawas penyelenggaraan Pemilu masih jauh dari harapan. Upaya pencegahan terhadap politik uang tidak aktif dilakukan oleh Bawaslu.
“Bawaslu semestinya lebih aktif menginformasikan dan mengingatkan peserta pemilu dan pemilih agar menghindari politik uang. Mekanisme penanganan pun harus dibuat lebih efektif sehingga laporan yang masuk bisa segera ditangani,” kata Hadar.
Ia berpendapat, proses pelaporan masyarakat terkait politik uang terbilang sulit. Tindak lanjut dari laporan itu juga dinilai tidak cepat. Ditambah lagi, sikap permisif masyarakat terhadap pemberian uang dari para caleg juga menyulitkan memberantas perilaku ini. "Tidak mudah memang. Karena itu, masyarakat harus terus-menerus diedukasi bahwa politik uang ini racun dan merusak demokrasi agar masyarakat tidak lagi menganggap enteng politik uang,” tutur Hadar.
Sementara itu, Wakil Ketua Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae mengungkapkan, pihaknya juga turut memantau aliran dana kampanye. Akan tetapi, PPATK baru bisa membuka dugaan aliran dana mencurigakan terkait Pemilu 2019 seusai proses elektoral digelar.
Hasil temuan PPATK itu selanjutnya akan diserahkan kepada Bawaslu dan pihak lain yang berwenang seperti KPK dan penegak hukum lainnya. “Pemilu harus berjalan bersih. Kami ikut memastikan agar dana yang digunakan dan sumbernya memang legal bukan hasil tindak pidana, baik korupsi, pencucian uang, dan lain-lain,” kata Dian.