Brexit bagaikan Angin Lalu
Kegelisahan politisi atas alotnya negosiasi Brexit di Parlemen Inggris ternyata tidak banyak berpengaruh pada industri buku cetak Inggris. Kegairahan di London Book Fair membuktikannya.
Beberapa hari sebelum berangkat ke London, Inggris, sempat tebersit rasa khawatir kondisi kota itu akan ricuh atau setidaknya gaduh oleh penolakan atau dukungan warga Inggris pada Brexit. Apalagi ada pemungutan suara lagi di parlemen pada 12 Maret 2019. Namun, sesampai di London, 10 Maret lalu, tidak terasa kegaduhan itu.
Peliknya isu Brexit juga tidak menyelusup dalam acara tahunan dunia penerbitan, London Book Fair (LBF) yang dihelat di gedung Olympia, West Kensington, London, 12-14 Maret, padahal selama tiga tahun terakhir, isu Brexit sudah menghiasi berbagai program kegiatan dan diskusi LBF.
Tahun ini ada beberapa penulis dan penerbit mengkhawatirkan masa depan Inggris jika Inggris betul-betul harus keluar dari Uni Eropa. Namun, ketidakjelasan politik terkait Brexit, diakui tidak memengaruhi bisnis penerbitan, setidaknya belum.
CEO Penguin Random House Inggris, Tom Weldon, mengakui Brexit menjadi isu besar bagi penerbit karena mengkhawatirkan rantai suplai dan logistik. Para penerbit Inggris khawatir ketidakjelasan nasib Brexit akan membuat mereka kehilangan pasar ekspor di Eropa. Jika pasar Eropa hilang, mau tak mau agen dan penerbit harus lebih gencar menggapai pasar Amerika Serikat. Ini berarti, di event LBF 2019, mereka harus bisa sampai pada tahapan mencapai kesepakatan.
Selama tiga hari, suasana di ruang pameran lantai 1-3 menggambarkan situasi itu. Tidak ada meja kursi yang sepi dari orang-orang yang berunding serius dengan setumpuk dokumen dan contoh buku. Lebih dari 1.500 perusahaan dari 130 negara memenuhi 2.000 stan di Olympia. Dua stan Indonesia di lantai 1 dan 2 juga tak pernah sepi pengunjung. Tahun ini Indonesia didaulat menjadi negara Fokus Pasar di LBF. Untuk itu, Badan Ekonomi Kreatif serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Komite Buku Nasional memboyong tak hanya 450 judul buku, tetapi juga subsektor industri kreatif lain, seperti kuliner, film, mode, arsitektur, musik, dan permainan.
Ketua Harian Panitia Pelaksana Indonesia Market Focus Country LBF 2019 Laura Bangun Prinsloo mengatakan, Indonesia berupaya memanfaatkan momen itu untuk memperkenalkan konten-konten yang dimiliki. Kerja keras selanjutnya adalah panitia harus mampu mendapatkan kontrak dari negosiasi yang disepakati.
Selama tiga hari pameran, terdapat 408 judul buku Indonesia masuk tahap negosiasi. Rata-rata, dalam tiga tahun terakhir, keberhasilan proses negosiasi mencapai 23 persen.
Dalam pameran tahun ini, terjual 23 judul. Selain itu juga tercapai kesepakatan distribusi global film November 12th (Battle of Surabaya) oleh Amazon Inggris dan Netflix dengan nilai proyeksi 1,6 juta dollar AS. Sebagai perbandingan, pada LBF 2018, terjual hak 14 judul selama pameran dan 135 judul dalam proses negosiasi.
Indonesia juga berhasil mencapai kesepakatan kerja sama distribusi buku dengan lima distributor internasional dari Inggris, Eropa, dan AS. Kerja sama ini untuk mendistribusikan buku-buku Indonesia berbahasa Inggris ke AS, Inggris, Uni Eropa, Australia, dan India. Distributor itu antara lain Thames and Hudson (Inggris), Gazelle (Perancis), Publishers Group United Kingdom, dan Flavio Marcello (Italia).
”Upaya ini mendukung ekspor konten-konten Indonesia ke dunia dan menunjukkan komitmen untuk memperkenalkan dan membangun kerja sama industri kreatif Indonesia dengan pasar mancanegara,” kata Wakil Kepala Bekraf Ricky Pesik.
Buka pasar baru
Direktur LBF Jacks Thomas yakin gonjang-gonjing Brexit tidak akan mengganggu antusiasme dunia penerbitan dan mengganggu pasar buku di Inggris. ”Ini dilihat dari kenaikan penjualan buku audio, nonfiksi, dan buku anak,” ujarnya.
Dalam rilis Nielsen Book Inggris disebutkan, pasar penerbitan Inggris dan penjualan ke AS pada 2018 naik 3 persen dari tahun sebelumnya. Thomas menegaskan, industri penerbitan tidak akan terganggu, apalagi punah. ”Bisnis penerbitan buku cetak stabil dan tidak tergilas digital,” ujarnya.
Inggris, dari data statistik UN Comtrade, adalah eksportir buku cetak terbesar dunia. Pada tahun 2016, ekspor buku cetak Inggris mencapai 17 persen dari total ekspor dunia. Inggris juga unggul di penerbitan akademik. CEO Asosiasi Penerbitan Inggris Stephen Lotinga mengatakan, kesuksesan itu antara lain karena kekuatan bahasa Inggris dan kekuatan institusi pendidikannya.
”Pasar domestik Inggris sebenarnya kecil karena itu kita harus membuka pasar luar negeri dan kita bersaing dengan Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan China,” ujarnya.
Dalam salah satu program diskusi di LBF ”Deal(s) or No Deal(s): How Brexit and the UK’s Future Trading Arrangements Will Impact Publishing”, Direktur Penjualan Bloomsbury Kathleen Farrar mencemaskan isu logistik. ”Seperti buku-buku Harry Potter. Orang maunya bisa dapat buku itu pada saat yang sama dengan orang lain di Inggris. Kita tidak mau nanti konsumen terganggu pasca-Brexit,” ujarnya.
Direktur Media dan Industri Kreatif, Departemen Digital, Budaya, Media, dan Olahraga Inggris Robert Specterman- Green memastikan pemerintah mendukung industri kreatif yang menjadi ”kekuatan lunak” Inggris. (LUKI AULIA)