Mencari Tambatan Bersoal tentang Jender
RESENSI BUKU
Judul: Keberagaman Gender di Indonesia
Penulis : Sharyn Graham Davies
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
Cetakan : I, 2018
Tebal : xiv + 422 halaman
ISBN : 978-979-461-960-5
Sebenarnya sejak kapan di negeri seribu bahasa dan seribu adat, kita mulai bersoal tentang jender dan memahaminya sebagai sebuah landasan untuk berbicara tentang Indonesia?
Kemudian pemahaman tentang jender tersebut dipakai untuk menyuarakan pengetahuan baru tentang masyarakat, manusia, laki-laki dan perempuan, tubuh dan seksualitas. Juga dipakai untuk membahas kategori pengetahuan yang bertumbuh bersama dimensi pengetahuan tersebut, seperti mitologi, mentalitas, kebudayaan, sejarah, atau bahkan agama dan sistem kepercayaan yang dianggap menjadi dasar dari seluruh doktrin pengetahuan yang ada.
Masyarakat bertumbuh selalu dengan kenyataan empiris dan historis yang menyertainya. Dalam kerangka tersebut, pengetahuan apa pun yang lahir dari sebuah kenyataan masyarakat, akan selalu menyisakan pertanyaan tentang seberapa besar kemungkinan pengetahuan tersebut meretas batas lokalitas dan menjadi sesuatu yang universal.
Untuk kemudian menjadi pengetahuan bersama yang bisa dipakai untuk menerangkan gejala yang sama pada kenyataan yang lebih luas. Terkait pandangan tersebut, ada yang menarik dari buku yang ditulis oleh Sharyn Graham Davies tentang jender pada masyarakat Sulawesi Selatan ini.
Davies sebenarnya mencoba mempersoalkan pemahaman jender pada masyarakat Bugis dengan mempertimbangkan hal-hal di atas. Akan tetapi, prinsip pembentukan pengetahuan ilmiah yang mengacu pada kaidah universalitas justru tidak disinggung. Sangat mungkin, sejak awal Davies sebenarnya menyadari fragilitas pikiran untuk mempersoalkan jender pada tingkat tersebut.
Dalam bukunya, Davies memperlihatkan kenyataan empiris tentang jender dari berbagai belahan dunia, seperti Brazil, India, Meksiko, hingga negara-negara Eropa Utara. Namun, hal itu justru memunculkan pertanyaan untuk bersoal mengapa jender kemudian menjadi sebuah masalah global (LGBTQ) serta memungkinkan kita mengabaikan pertanyaan mendasar tentang lokalitas sebagai dasar berpengetahuan.
Bagian pertama buku ini hendaknya dibaca dengan baik. Pokok bahasan dalam bab ini memungkinkan kita melihat posisi dan perspektif apa yang hendak dikembangkan Davies untuk bersoal dan memetakannya dalam samudra kajian jender.
Kenyataannya, kajian jender menjadi arus baru yang bergerak pada 50 tahun terakhir. Kajian jender telah mengisi pengetahuan tentang masyarakat dalam perspektif yang tidak mengikat pada tubuh dan seksualitas sebagaimana pengertian dasar tentang tubuh dan seksualitas yang bermula dari agama.
Lebih dari itu, kajian jender juga memperlihatkan repertoire teoris yang kaya, sekaligus membuka kemungkinan untuk melihat jender sebagai sebuah pengetahuan yang membebaskan. Oleh karena itu, kita akan bertemu dengan paparan pada bagian pertama dan kedua buku ini, di mana Davies memetakan seluruh pemahaman teoretis tentang jender yang berkembang dalam kajian ini.
Jender ketiga
Dengan teliti, Davies menguliti penelitian-penelitian yang ada sebelumnya, untuk kemudian bergeser mempertanyakan sejauh mana penelitian yang ada bisa dipakai untuk melihat fenomena yang sangat spesifik pada masyarakat Bugis.
Secara khusus bagaimana masyarakat Bugis mengelompokkan jender menjadi lima kategori (laki-laki, perempuan, calabai atau laki-laki dengan watak keperempuanan, calalai atau perempuan dengan watak maskulinitas yang menonjol, serta bissu).
Penegasan pada halaman 102, ketika Davies menuliskan ”…tampaknya ada paradoks di sini: calabai, calalai dan bissu sepertinya dalam banyak hal secara bersamaan meneguhkan dan sekaligus menghancurkan sistem gender yang biner…”, memperlihatkan bagaimana repertoire klasik laki-laki perempuan dalam kategori biologis, tidak berlaku untuk melihat fenomena lima jender pada masyarakat Bugis.
Hal ini kemudian menyisakan banyak ruang untuk melihat jender dalam kategori lebih luas, seperti praktik kultural yang mengakar pada mitologi dan sistem kepercayaan (Hijra di India, Fakaleiti pada masyarakat Polinesia di Tonga, Phet di Thailand, Sworn Virgin di daerah Balkan, dsb) atau kompleksitas masyarakat dan dimensi sosiologisnya. Pemahaman atas keberadaan lima jender pada masyarakat Bugis memberi kemungkinan untuk keluar dari binaritas laki-laki perempuan dan menerima opsi jender ketiga.
Masalahnya untuk menerima opsi jender ketiga sebagai sebuah kategori pengetahuan, Davies tidak setia pada satu sudut di mana secara koheren dia mampu menjelaskan banyak hal yang bersifat lokal, seperti praktik kultural atau sistem kepercayaan sebagai sebuah kesatuan pikiran.
Dalam penelitiannya, associate professor di Auckland University of Technology, Selandia Baru, ini memakai pendekatan etnografis sebagai metode untuk bergerak secara fleksibel di lapangan, selama sembilan tahun, dan menyusun argumentasi.
Namun, karena Davies terjebak pada kebiasaan kajian jender yang mengklaim sebagai pengetahuan interdisipliner, justru sistem sosial dan kultural masyarakat Bugis yang menjadi ikatan dasar untuk memahami dan menerima lima jender di atas, tidak dilihat sebagai sebuah kesatuan pikiran.
Kategori alternatif
Konsekuensi atas hal itu adalah ketika dia ingin bergerak lebih jauh untuk melihat masalah paling trendi dalam ilmu sosial kontemporer-subyektivitas, buku ini tidak memperlihatkan sebuah poros pikiran yang kuat di mana kita bisa bersoal untuk menyusun kategori-kategori pengetahuan alternatif yang berkait dengan jender.
Kategori-kategori pengetahuan alternatif terkait jender yang dimaksud di sini seperti tubuh, hubungan laki-laki dan perempuan, seksualitas, atau bahkan hidup dan kematian, yang sebenarnya secara kaya bisa bermula dari elaborasi kajian tekstual yang tersimpan dalam catatan kultural masyarakat Bugis, sebagaimana yang tersisa dalam lontarak atau bahkan kitab I La Galigo (manuskrip yang dikumpulkan dan ditulis ulang oleh Colliq Pujié, bukan semata performan atau pertunjukan I La Galigo yang disutradarai Robert Wilson).
Antiklimaks dari perjalanan Davies, justru ketika dia melihat subyektivitas dari perjalanan tubuh calalai, calabai, dan bissu yang ternyata kembali berpusar semata pada naluri, hasrat, praktik seksual, atau pada pandangan pro dan kontra masyarakat atas kehadiran mereka.
Jender sebagai sebuah bilik pengetahuan yang menjanjikan banyak hal, sirna oleh perjalanan Davies ke banyak tempat tetapi tidak membuat pembaca berlabuh di mana pun. Pada saat yang sama kita sadar bahwa bersoal tentang jender adalah bersoal tentang kompleksitas kenyataan empiris dan kepekaan untuk mengurainya.
RISA PERMANADELI Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial, Jakarta