Seorang pemuda pelatih pramuka berinisial mencabuli 11 orang siswa di salah satu SMP di Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Oleh
MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS -- Seorang pemuda pelatih pramuka berinisial RK (32) mencabuli 11 orang siswa di salah satu SMP di Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Korban disodomi dan dioral seks di sekolah. Pengawasan orangtua dan sekolah kepada anak serta keterbukaan antara orangtua dan anak perlu ditingkatkan untuk mencegah potensi kekerasan seksual pada anak.
"Modusnya dia mengajak atau menyuruh murid-muridnya untuk mengadakan pelatihan di malam hari sehingga para murid tidur di sanggar (pramuka). Kemudian perbuatan tidak senonoh itu dilakukan," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Banyumas Ajun Komisaris Agung Yudiawan, Sabtu (30/3/2019) di Purwokerto, Banyumas.
Agung mengatakan, perbuatan tersebut sudah dilakukan sejak 2016 dan dilakukan lebih dari 1 kali. Hingga saat ini jumlah korban yang diperiksa ada 11 orang dan diduga korbannya bisa bertambah. "Ini bertahap mulai dari 2016 ada 1 orang, tahun 2018 ada 2 orang, dan pada 2019 ada 8 orang korban. Kemungkinan masih bisa bertambah. Laki-laki semua," paparnya.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Banyumas Ipda Rahman Kurniawan menambahkan, pelaku berasal dari Purbalingga dan merupakan lulusan S1 Ilmu Komputer. Tersangka bukan guru mata pelajar dan hanya datang melatih pramuka dua kali seminggu. "Karena rumahnya jauh, kadang dia menginap di sanggar pramuka itu," tutur Rahman.
Tersangka ditangkap pada Jumat (29/3/2019) setelah pihak sekolah mendapatkan laporan dari orangtua salah satu korban. Barang bukti yang disita adalah pakaian dalam, sarung, celana pendek, sebuah karpet warna biru dan sebuah matras warna hitam.
Tersangka dijerat dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 392 KUHP, juncto Pasal 64 KUHP. "Ancaman hukuman minimal 5 tahun, maksimal 15 tahun," kata Agung.
Tersangka RK menyampaikan, dirinya melakukan percabulan awalnya karena iseng kemudian ketagihan. RK juga mengakui bahwa saat masih kanak-kanak pernah menjadi korban kekerasan seksual.
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Korban Kekerasan Berbasis Gender dan Anak Kabupaten Banyumas Tri Wuryaningsih mengatakan, jumlah korban kekerasan seksual terhadap anak di Banyumas cenderung meningkat. "Pada 2017 kami mendampingi 125 korban dan pada 2018 jumlahnya meningkat menjadi 136 korban. Ini seperti fenomena gunung es. Mungkin sebenanrya jumlahnya lebih dari itu karena tidak semua korban melaporkan apa yang dialaminya karena malu atau diselesaikan secara kekeluargaan dengan pelaku," papar Tri.
Pada 2017 kami mendampingi 125 korban dan pada 2018 jumlahnya meningkat menjadi 136 korban. (Tri Wuryaningsih)
Tri mengatakan, korban kekerasan seksual membutuhkan pendampingan khusus dan berkelanjutan karena ke depannya korban justru berpotensi menjadi pelaku atau predator kekerasan seksual. "Kalau diselesaikan secara kekeluargaan, pelaku tidak mendapatkan efek jera dan korban tidak mendapatkan pendampingan secara tuntas," kata Tri yang juga dosen di FISIP Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Dalam kasus pelatih pramuka tersebut, lanjut Tri, anak-anak SMP terdorong dan bersemangat mengikuti pelatihan pramuka pada malam hari karena ingin menjadi anggota Dewan Penggalang Sekolah. "Dewan Penggalang bagi anak-anak itu kan prestise. Kalau diiming-imingi untuk jadi Dewan Penggalang, anak akan tertarik. Walaupun ada tambahan pada malam hari, anak-anak mau ikut serta. Hubungan anak dengan pelatih atau guru, apapun namanya antara anak dan dewasa itu subordinat pasti ada rasa khawatir, rasa takut sehingga tidak perlu ada pemaksaan apapun anak sulit menolak," katanya.
Sebagai upaya pencegahan, kata Tri, pihak sekolah serta orangtua harus paham adanya potensi kekerasan seksual. "Kekerasan seksual berpotensi terjadi di berbagai tempat baik di lembaga pendidikan maupun di rumah. Anak juga harus dibekali sejak awal. Ketika dia menghadapi orang-orang seperti itu apa yang harus dilakukan, misalnya teriak atau dia harus berani menolak. Ini harus diajarkan sejak dini," tutur Tri.