Ratusan Hunian Kayu di Kolong Tol Jembatan Tiga Ludes Terbakar
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekitar 200 rumah kayu di kolong tol Ruas Tol Dalam Kota sekitar Jembatan Tiga, Pluit Kilometer 25, Jakarta Utara, hangus terbakar, Sabtu (30/3/2019). Kebakaran itu diduga akibat salah satu warga lupa mematikan kompor ketika meninggalkan rumah. Saat ini, polisi masih menyelidiki penyebab kebakaran dan tidak mengizinkan warga menempati lokasi kolong tol.
Petugas piket Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta Utara, Budi Haryono, mengatakan, kebakaran terjadi sekitar pukul 09.00, mengakibatkan sekitar 200 rumah kayu ludes terbakar.
”12 mobil pemadam kebakaran dikerahkan ke lokasi. Api bisa dipadamkan sekitar pukul 10.45. Penyebab kebakaran masih simpang siur. Polisi masih menyelidik penyebab kebakaran,” kata Budi.
Sementara itu, Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Penjaringan Komisaris Mustakim mengatakan, tidak ada korban jiwa dalam kebakaran ini. Polisi masih menyelidiki penyebab kebakaran. Selain itu, polisi juga sudah meminta keterangan beberapa saksi, termasuk Cipto dan Nurjanah, pemilik rumah yang diduga menjadi awal terjadinya kebakaran karena lupa mematikan kompor.
Saat ini, Cipto dan Nurjanah masih di Polres Penjaringan dan belum diizinkan kembali ke lokasi kebakaran karena dikhawatirkan akan memicu kemarahan warga.
Mustakim mengatakan, daerah lokasi kebakaran yang dijadikan permukiman warga adalah milik Bina Marga. Oleh karena itu, setelah kejadian kebakaran dan untuk menghindari kejadian serupa, warga tidak boleh mendirikan bangunan rumah untuk tempat tinggal atau untuk peruntukan lainnya. ”Semua wilayah di kolong tol kami beri garis polisi. Daerah tersebut ilegal untuk ditempati,” ujarnya.
Terkait kerugian dan jumlah keluarga yang terdampak kebakaran, Mustakim mengatakan belum mengetahui karena masih fokus pada penanganan warga yang memerlukan bantuan.
Akibat terjadi kebakaran di kolong tol ruas Tol Dalam Kota sekitar Jembatan Tiga-Pluit Km 25 yang dioperasikan PT CMNP, lalu lintas dari Pluit ke arah Ancol sempat ditutup dari pukul 08.50-09.50 dan pengguna jalan dialihkan ke arah Grogol. Namun, sejak pukul 11.00 lalu lintas kembali normal.
Tinggal di rusun
Berdasarkan keterangan beberapa warga, penyebab kebakaran bermula dari rumah Cipto dan Nurjanah yang lupa mematikan kompor ketika pergi meninggalkan rumah.
Ida (32) mengatakan, Cipto dan Nurjanah yang sudah tinggal kurang lebih dua tahun hendak pergi ke undangan pernikahan. Tidak lama kemudian Cipto dan Nurjanah kembali ke rumah untuk mematikan kompor.
”Saya lupa mematikan kompor,” kata Ida menirukan ucapan Nurjanah. Namun, telat, dalam waktu singkat api dengan cepat melahap permukiman yang berbahan kayu itu.
”Tidak lebih dari satu jam api cepat menjalar, saya panik, warga lain juga panik. Tidak ada barang yang bisa saya selamatkan, termasuk surat-surat berharga. Yang terpikir adalah menyelamatkan diri dan keluarga lainnya,” kata Ida dengan suara gemetar menahan tangis.
Mata Sri Walyati (58) nanar menatap rumah yang sudah ia diami sejak kelas tiga sekolah dasar. Ia mengelus dada, memikirkan masa depannya dan keluarga yang tidak jelas. Sembari dipeluk dan mendapat kecupan dari anak laki-lakinya, Sri tampak menangis.
”Setelah ini tidak tahu mau tinggal di mana. Hidup kami makin tidak jelas dan pasti, tidak boleh lagi tinggal di sini. Saya dan anak saya tidak punya rumah di sini,” kata Sri yang hanya bisa menyelamatkan beberapa surat penting, seperti KTP dan kartu keluarga.
Di tengah kesedihan atas peristiwa kebakaran yang baru pertama kali terjadi itu, beberapa warga saling menguatkan dan masih terucap syukur selamat dari bencana kebakaran. Mereka berharap ada bantuan dari pemerintah berupa hunian sementara yang layak.
Sri dan sejumlah warga kolong tol Jembatan Tiga bukan tanpa usaha untuk mencari tempat tinggal yang nyaman. Mereka tidak ingin tinggal di bawah kolong tol dan dianggap menjadi warga ilegal. Ia dan anaknya sudah beberapa kali mengurus pengajuan izin tinggal di rumah susun. Namun, tidak pernah terealisasi hingga saat ini.
Seperti yang diutarakan Haryanto (28). Ia mengatakan, sejak 2017 sudah mengajukan persyaratan untuk tinggal di rumah susun Marunda. Namun, ayah satu anak ini belum kunjung mendapatkan kesempatan menempati rumah susun. Menurut Hary, ia sudah berulang kali mengurus surat agar bisa tinggal di rumah susun.
”Kami bukan penduduk gelap atau ilegal. Kami memiliki KTP DKI Jakarta. Kami terpaksa tinggal di sini karena tidak mampu menyewa rumah, apalagi membeli rumah. Kami terpaksa tinggal di bawah kolong tol dan kami sadar wilayah ini tidak boleh ditempati. Namun, mau gimana lagi,” kata Hary.
Berbeda dengan Cucung (36), yang masih ingin bertahan tinggal di kolong tol. Cucung adalah salah satu warga yang beruntung karena mendapat bantuan tempat tinggal di rumah susun Marunda dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta semasa era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Namun, batuan tersebut tidak pernah ia gunakan dan justru kembali hidup di bawah kolong tol demi melanjutkan pekerjaan sebagai pemungut barang bekas.
Ia mengatakan, bukannya tidak bersyukur mendapat rumah layak huni, melainkan dengan alasan lokasi jauh dari tempat mata pencarian dan lokasi sekolah anak, ia memutuskan tinggal di bawah kolong tol.