Refleksi Hari Film Nasional
Hari Film Nasional diperingati setiap 30 Maret, menandai hari pertama produksi film Darah dan Doa karya Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail, tahun 1950. Momen ini perlu digunakan untuk merayakan pencapaian industri film kita dan menganalisis tantangan ke depan.
Beberapa tahun terakhir, industri film di Indonesia mengalami pertumbuhan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah layar bioskop dan angka penonton, juga keberadaan film Indonesia di ranah internasional.
Indonesia, dengan 260 juta penduduk menurut data MPA (Motion Picture Association), saat ini berada di posisi ke-15 dunia untuk angka penonton bioskop. Tentu hal itu masih berpotensi lebih besar karena tumbuhnya kelas menengah dan masih terbatasnya akses bioskop di banyak daerah.
Produser film nasional secara kolektif menghasilkan film-film yang disukai masyarakat. Angka penonton film nasional yang hanya 16 juta pada 2015, dengan penguasaan pasar hanya 20 persen, tumbuh menjadi 37,2 juta pada 2016, sebesar 42,7 juta pada 2017, dan 50 juta pada tahun lalu dengan penguasaan pasar diperkirakan sekitar 32 persen.
Apresiasi
Film Indonesia juga secara rutin terseleksi di festival-festival film penting internasional, seperti Cannes, Berlin, Toronto, Sundance, dan Venice.
Festival film menjadi etalase penting yang dipilih oleh produser untuk mengamankan jalur distribusi internasional. Contohnya film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak, setelah terseleksi di Cannes Film Festival pada 2017, terdistribusi di 40 negara, termasuk rilis bioskop di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, dan Italia.
Apresiasi tentu perlu diberikan juga kepada pemerintah. Terkait dunia perfilman, pemerintah periode ini membentuk dua institusi baru, Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbang Film) di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
Secara kelembagaan, kami melihat Pusbang Film mampu menjalankan tugasnya terkait perizinan dan apresiasi. Walaupun demikian, masih tersisa beberapa pekerjaan rumah yang cukup penting. Misalnya terkait tiga peraturan menteri (turunan dari Undang-Undang Perfilman Nomor 33 Tahun 2009) yang belum disahkan, dan kewajiban mengumumkan data penonton yang tidak
pernah dilakukan.
Revisi UU Film yang sudah beberapa tahun masuk prolegnas (program legislasi nasional) di Dewan Perwakilan Rakyat harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan DPR agar didapat kepastian hukum untuk pertumbuhan investasi. Pemangku kepentingan yang sudah mapan membentuk asosiasi-asosiasi harus dilibatkan sejak awal agar polemik seperti dalam penyusunan UU sebelumnya tidak terjadi.
Dukungan pemerintah
Kehadiran Bekraf memberi warna baru bagi pengelolaan program pemerintah di sektor film. Salah satunya yaitu Akatara (pitching forum), sebagai salah satu program unggulan Bekraf. Program ini memberi peluang untuk mempertemukan antara investor dan pembuat film. Salah satu film cerita yang sukses dari forum itu adalah film Keluarga Cemara, film box office pada awal 2019 ini.
Keberpihakan pemerintah terhadap perbaikan iklim usaha perfilman ditandai dengan dikeluarkannya industri film dari Daftar Negatif Investasi pada Februari 2016. Ini menjadi pencapaian penting karena investasi asing bisa masuk ke distribusi, ekshibisi, dan produksi. Sebagai industri yang penuh risiko dan padat modal, keberadaan investasi asing menjadi mitra pembagi risiko investasi dan memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan.
Investasi asing yang masuk ke bisnis bioskop mempercepat tumbuhnya angka layar bioskop dari 1.117 layar pada awal 2016 menjadi 1.896 layar pada tahun ini. Ko-produksi internasional juga jadi sesuatu yang lazim, seperti film Wiro Sableng, kerja sama antara Lifelike Pictures dan 20th Century Fox.
Perkembangan teknologi informasi juga memberi dampak positif bagi industri film Indonesia. Kehadiran online curated content (OCC), seperti Netflix, HOOQ, Iflix, dan Viu, memberikan peluang bagi produser film nasional untuk bisa mengakses pasar global melalui platform OCC. Apalagi dua pemain besar global, yaitu Disney dan Apple, baru saja mengumumkan akan meluncurkan platform OCC mereka.
OCC juga memberikan peluang baru bagi produser untuk membuat medium dalam bentuk serial. Serial seperti Cek Toko Sebelah, Brata, dan Magic Hour terbukti bisa menarik minat penonton, bersaing dengan serial produksi luar negeri.
Tentang pembajakan
Industri film menghadapi tantangan besar dengan maraknya situs pembajakan streaming yang menayangkan film dan serial secara ilegal. Berdasarkan riset LPEM UI (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia) pada 2017, kerugian ekonomi akibat pembajakan yang dilakukan masyarakat Indonesia sekitar Rp 5 triliun per tahun.
Khusus industri OCC, aktivitas pembajakan ini berimbas pada kemampuan monetisasi atas investasi yang dilakukan untuk membeli lisensi konten.
Dibandingkan dengan konten gim dan musik, konten video berada pada peringkat terbawah dalam hal konversi layanan gratis menjadi berbayar. Kesuksesan konversi layanan dari gratis menjadi berbayar di industri gim sebesar 10%, industri musik sebesar 3%, sedangkan video hanya di bawah 1%.
Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Hukum dan HAM sebenarnya sudah memiliki regulasi bersama untuk memblokir situs-situs ilegal tersebut. Sejak aturan itu disahkan pada 2016, sejumlah 481 situs web dan lebih dari 700 domain ilegal telah diblokir atas laporan Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI) dan MPA.
UU Hak Cipta mengatur tindakan atas pelanggaran ini sebagai delik aduan sehingga aparat penegak hukum hanya akan bergerak apabila ada laporan korban. Sementara kemampuan situs-situs bajakan untuk muncul kembali dengan domain baru jauh di atas sumber daya kami untuk bisa mengumpulkan bukti atau melaporkan secara pidana situs-situs tersebut.
Dalam momentum Hari Film Nasional ini, kami mengingatkan mengenai pentingnya membangun kesadaran bahwa kekayaan intelektual adalah fondasi dari industri kreatif. Perlindungan kekayaan intelektual adalah dasar terjaminnya inovasi dan kebebasan berkreasi yang merupakan harta kekayaan tidak ternilai bangsa ini.
Film Indonesia mempunyai semua prasyarat untuk terus tumbuh, berkembang, dan mendunia. Industri film yang mapan hanya akan terbangun lewat kepastian hukum dan perlindungan kekayaan intelektual. Tanpa terpenuhinya hal tersebut, maka gairah besar kita saat ini bisa jadi angan-angan yang patah di tengah jalan.
Fauzan Zidni Penulis adalah Ketua Umum APROFI (Asosiasi Produser Film Indonesia)