Di usianya yang telah menginjak 65 tahun, Nanang tampak kepayahan menarik perahu eretan berisi 11 penumpang. Tenaga Nanang yang lemah membuat perahu tertatih membelah arus kali.
Perjalanan menyeberangi Kanal Barat di Kelurahan Jatipulo, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, yang lebarnya hanya sekitar 50 meter, terasa lama bukan main. Sudah hampir 10 menit, tetapi perahu belum juga tiba di sisi lain kali.
Para penumpang yang entah karena iba atau tak sabar akhirnya berdiri, ikut menarik perahu. Sesampainya di tepian, empat orang melempar koin, yang lain berlalu begitu saja.
”Saya enggak pernah marah kalau ada penumpang yang enggak bayar. Anggap saja amal,” kata Nanang saat ditemui, Jumat (29/3/2019).
Sekali jalan, biasanya penumpang memberi uang Rp 1.000 hingga Rp 2.000. Tidak ada tarif khusus yang diterapkan. Bahkan, anak-anak kecil sering kali tidak dipungut biaya saat menaiki perahu eretan.
Setiap hari, Nanang bekerja menarik perahu eretan dari pukul 05.00 hingga 22.00. Meskipun berat, ia setia menekuni pekerjaan itu sejak 24 tahun lalu untuk mencari nafkah demi membesarkan enam anaknya.
Ketika istrinya meninggal, Nanang dan enam anaknya diusir dari rumah warisan mertua. Saat itulah ia meninggalkan pekerjaannya berdagang sayur, dan mengambil tawaran bekerja sebagai penarik perahu eretan.
Meskipun pekerjaan itu lebih melelahkan, setidaknya Nanang memiliki tempat untuk tinggal. ”Waktu itu, saya dan anak-anak butuh rumah untuk tidur,” katanya.
Setelah anaknya dewasa dan pergi bekerja ke sejumlah daerah, perahu itulah yang menemani Nanang menghabiskan masa tua. Di atas perahu, ia menemukan tempat untuk pulang.
Sejak pertama kali menarik perahu eretan, tak sekalipun Nanang pergi berlama-lama meninggalkan rumah terapungnya itu. ”Perahu harus dijaga terus, soalnya bisa hanyut kalau air tiba-tiba pasang,” katanya.
Hidup mati orang macam kami, ya, di atas perahu ini.
Saat ini, di Kelurahan Jatipulo, Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, tinggal tersisa tiga perahu eretan. Keharusan menjaga perahu selama 24 jam karena ketinggian air yang kerap berubah membuat orang memilih pekerjaan lain.
”Sudah jarang yang mau kerja kayak begini. Seharian kerja cuma dapat Rp 50.000. Itu belum dipotong setoran Rp 35.000,” kata Agus (46), Sabtu (30/3/2019).
Untuk menyiasati hal itu, para penarik perahu eretan mencari penghasilan tambahan dari memulung sampah plastik di kali. Dengan begitu, mereka bisa mengisi waktu luang ketika menunggu penumpang datang.
Menjadi penarik perahu eretan berarti terasing dari masyarakat. Seluruh waktu mereka dihabiskan untuk bekerja dan menjaga perahu. ”Hidup mati orang macam kami, ya, di atas perahu ini,” kata Agus.
Selain tentunya membosankan berada 24 jam di atas perahu kecil yang berukuran panjang 6 meter dan lebar sekitar 1,5 meter, pekerjaan sebagai penarik perahu eretan juga berisiko. Sekitar tiga bulan lalu, sebuah perahu tenggelam bersama pengemudinya yang tengah lelap pada dini hari.
Bagi para penarik perahu eretan, sampan itulah rumah mereka, tempat mereka untuk bekerja sekaligus pulang. ”Walaupun jelek dan bahaya, ya, ini tetap rumah kami,” kata Nanang.