Tenggelam oleh Pilpres
Dalam sebuah perjamuan, seorang pemimpin perusahaan bertanya, ”Kalau Presiden jelas siapa calonnya, tapi kalau DPR atau DPRD siapa yang harus saya pilih? Tak satu pun saya kenal, apalagi DPD.”
Pertanyaan itu jamak. Tingkat pengenalan publik pada caleg rendah. Pertanyaan serupa saya temui saat berkunjung ke Kendari, Sulawesi Tenggara. ”Belum tahu siapa caleg yang dipilih. Nanti saja,” ujarnya ketika saya tanya siapa caleg yang akan mereka pilih.
Menyusuri jalanan di Ibu Kota dan sejumlah daerah tampak dominan spanduk dan poster parpol, serta foto caleg. Sesekali dijumpai spanduk dan poster calon presiden. Ada spanduk caleg yang fotonya sengaja dipasang terbalik. Mungkin untuk menarik perhatian. Namun, suasana berbeda kita dapati di panggung televisi dan media. Semua fokus pilpres.
Untuk menfasilitasi capres dan cawapres, KPU menggelar lima kali debat. Lalu, mengapa tidak ada debat antarpartai politik? Jika dilacak lebih jauh, ”ketidakadilan” terhadap partai politik sudah ada di undang-undang. UU Pemilu tidak mengharuskan adanya debat antarpartai politik. Begitu juga dengan Dewan Perwakilan Daerah yang sering disebut ”senator” bahkan lebih tak terdengar suaranya di panggung kampanye.
Semuanya tenggelam oleh pilpres. Semuanya terfokus pada pilpres. Dalam negara demokrasi, partai politik adalah pilar demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa partai politik. Dalam realitas politik di Indonesia, tidak mungkin ada orang bisa menjadi penyelenggara negara tanpa melalui partai politik.
Namun, bagaimana persepsi publik soal partai politik. Survei nasional Litbang Kompas tahun 2019 terhadap eksistensi partai politik menunjukkan 45,2 persen responden memandang partai politik citranya ”baik”. Sebaliknya, 37,9 persen memandang citra partai politik ”buruk”. Sebanyak 16,9 persen tidak menjawab. Tren persepsi publik terhadap parpol menurun dibandingkan survei sejenis pada Oktober 2018.
Data itu diambil Februari-Maret 2019 dari 2.000 responden di 34 provinsi dengan margin of error +/- 2,2 persen. Persepsi publik soal partai politik sejalan dengan persepsi publik soal DPR.
Berdasarkan hasil survei yang sama, baru 45,1 persen responden yang mengatakan citra DPR baik. Artinya, belum separuh responden puas dengan kinerja DPR. Belum beranjaknya persepsi partai politik tentunya tak bisa dilepaskan dari banyaknya kasus korupsi yang menimpa anggota DPR, kepala daerah, ketua umum atau ketua partai politik.
Jadi, selain pilpres, partai politik dan caleg juga tak kalah pentingnya. Jalannya pemerintah bergantung pada dukungan di parlemen. Siapa pun yang akan terpilih membutuhkan dukungan politik di parlemen. Partai politiklah yang akan ikut menentukan masa depan bangsa, menopang kekuasaan eksekutif, merumuskan kebijakan pembangunan, menentukan anggaran, dan mengawasi jalannya pemerintah.
Ketika publik terfokus pada pemilu presiden, wajar ketika muncul pertanyaan bagaimana postur DPR 2019-2024? Ini harus menjadi perhatian. Di kertas suara, foto wajah calon hanya ada di kertas suara presiden dan kertas suara anggota DPD. Sebaliknya, untuk kertas suara caleg DPR dan DPRD provinsi dan kabupaten/kota hanya tertulis nama caleg.
DPR adalah mereka yang duduk dalam kantor publik, elected office, yang dipilih oleh rakyat untuk berbicara. Pekerjaan Dewan di mana pun adalah berbicara. Namun, berbicara seorang anggota DPR bukan seperti berbicara di pasar, sambil menawarkan program kampanye. Berbicara di Dewan adalah the exertion of power, yaitu mengerjakan kekuasaan, mengolah kekuasaan, mengarahkan kekuasaan untuk mencapai suatu tujuan. Pada situasi ini, pantas jika ada kekhawatiran mengenai kualitas DPR ke depan. Menjadi anggota Dewan membutuhkan sensibilitas politik, anggota Dewan yang punya compassion terhadap konstituen serta memiliki kemampuan teknis sebagai legislator.
Di waktu tersisa, saatnya partai politik menawarkan platform dan programnya kepada masyarakat. Saatnya caleg menampilkan gagasan keberpihakannya terhadap rakyat, bukan politik uang. Tanpa sosialisasi itu, kita khawatir pemilih hanya asal-asalan memilih parpol dan calegnya. Itu tidak akan menolong kondisi partai politik dan DPR 2019-2024.
Masalahnya bagaimana menyeimbangkan kampanye pemilu presiden dan kampanye partai politik? Itu perlu agar pemilih tidak asal membeli kucing dalam karung. Saatnya ada prakarsa menggelar debat partai politik terhadap sejumlah isu krusial bangsa, misalnya mengatasi korupsi di Indonesia. Dunia akademis bisa mengambil peran tersebut.