Setelah jadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015, tahun ini Indonesia—pertama di Asia Tenggara—didaulat jadi negara Pasar Fokus di London Book Fair. Kepercayaan ini bertepatan 70 tahun hubungan RI-Inggris.
Dengan memboyong 34 penerbit, 12 penulis, dan belasan praktisi industri kreatif, Indonesia membawa pulang hasil menjanjikan. Gotong royong seluruh industri kreatif terbukti efektif memasarkan keberagaman Indonesia di tingkat global.
Sebanyak 408 judul buku masuk ke tahap negosiasi, 23 judul buku terjual selama pameran, dan tercapai kesepakatan distribusi global untuk film November 12th (Battle of Surabaya) oleh Amazon Inggris dan Netflix dengan nilai proyeksi 1,6 juta dollar AS. Dari pameran ini terjalin kerja sama dengan lima distributor internasional dari Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat untuk mendistribusikan buku-buku Indonesia yang berbahasa Inggris.
Hasil ini merupakan kerja keras semua pihak. Dimulai dari rancangan stan yang mengusung tema ”17.000 Islands of Imagination”, dengan status sebagai negara Pasar Fokus, Indonesia berkesempatan membangun dua stan total seluas 600 meter persegi dengan konsep pusaran air. Stan utama diisi 22 penerbit, sementara stan kedua yang diberi nama Spice Café diisi 13 co-exhibitor dari ranah nonbuku, seperti kuliner, film, permainan (boardgames), ilustrasi, dan animasi digital.
Kedua stan itu tak pernah sepi kegiatan dan pengunjung sejak hari pertama, 12-14 Maret 2019, di Gedung Olympia, West Kensington, London, Inggris. Spice Café selalu kebanjiran pengunjung pelaku industri penerbitan dari sejumlah negara yang mengikuti diskusi atau sekadar mampir mencicipi teh, kopi, wedang uwuh, atau makanan khas Indonesia, seperti soto Lamongan, soto Betawi, nasi tumpeng, aneka sambal, emping, dan kerupuk opak.
Di luar kedua stan itu, ke-12 penulis yang diboyong Badan Ekonomi Kreatif Indonesia dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Komite Buku Nasional tak kalah sibuknya. Ke-12 penulis yang mewakili wajah dunia literatur Indonesia itu adalah Agustinus Wibowo, Clara Ng, Dewi Lestari, Faisal Oddang, Intan Paramaditha, Laksmi Pamuntjak, Leila S Chudori, Nirwan Dewanto, Norman Erikson Pasaribu, Reda Gaudiamo, Seno Gumira Ajidarma, dan Sheila Rooswitha. Setiap hari mereka menjadi pembicara di berbagai diskusi.
Dewi atau Dee Lestari, penulis novel trilogi Supernova, menilai peran penulis di pameran seperti London Book Fair ini hanya salah satu elemen dari industri buku Indonesia yang didukung elemen industri kreatif lain yang membawa bendera Indonesia. Hal senada dikatakan penulis narasi perjalanan Titik Nol, Agustinus Wibowo.
”Ini bisnis yang besar. Ini ajang pebisnis buku. Kita ini sedang sama-sama jualan Indonesia. Karya kita di pameran buku seperti ini bagaikan setitik air di tengah samudra luas dan karya kita tidak lebih dari sebuah komoditas,” ujarnya.
Karya-karya yang dijual ke dunia juga harus memenuhi kualitas dunia dan yang terpenting harus sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Selain itu, menurut Direktur Lisensi dan Hak Internasional Penerbit Asta Ilmu Natalia Rimba, yang memproduksi buku pelajaran Bahasa Mandarin, karya buku yang dijual harus berbeda dengan buku lain yang ada di pasaran tentu dengan menempatkan kebutuhan dan kepentingan pembelajar sebagai fokus pengembangan produk dan berstandar internasional.
”Tiga buku, Rainbow English, Rainbow Math, dan Rainbow Science, untuk taman kanak-kanak sudah diterbitkan dan dijual di 12 negara, seperti Kamboja, Chile, China, Mesir, Hong Kong, Malaysia, Myanmar, Oman, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam,” kata Natalia.
Agen literatur
Proses masuk ke panggung dunia tak mudah. Proses riset dan negosiasi nan panjang harus dijalani dan ini tak bisa dilakukan sendirian oleh penulis atau pemilik karya.
Pengalaman berharga diperoleh Dee ketika ia menghadiri Frankfurt Book Fair 2014. Di Indonesia, ia tak perlu agen literatur karena langsung berhubungan dengan penerbit. ”Orang-orang tanya kepada saya, punya agen atau tidak. Begitu saya bilang tak punya, mereka pergi,” ujarnya.
Pengalaman serupa juga dialami Rektor Universitas Amikom Yogyakarta Muhammad Suyanto, produser dan penulis naskah film animasi Battle of Surabaya. ”Tanpa pengacara bidang hiburan, jangan harap bisa masuk pasar dunia, terutama AS. Kita bisa dihabisi secara hukum kalau kalah. Pengacara itu syarat pertama masuk pasar AS sebagai pasar film terbesar di dunia,” kata Suyanto yang kini punya pengacara yang sama dengan pengacara perusahaan film Marvel.
Untuk melihat cara kerja agen literatur dan bisnis industri perbukuan, Editor Departemen Fiksi PT Gramedia Pustaka Utama Hetih Rusli mengajak Kompas dan Jakarta Post ke ruangan khusus untuk transaksi perdagangan hak cipta, International Right Centre di lantai 3, Olympia. Di ruangan yang ramai hiruk pikuk seperti bursa saham itu, Borobudur Agency, yang mewakili Indonesia, menyewa satu meja bernomor 30.
Ada sedikitnya 600 meja di ruangan itu. Ini transaksi perdagangan hak cipta yang terbesar di dunia. Frankfurt Book Fair saja hanya ada 400 meja. Jika tak digandeng Hetih, kami tak boleh masuk ruangan itu.
”Hanya penerbit atau agen literatur yang sudah memiliki janji temu yang boleh masuk. Janji ketemuan ini sudah dilakukan sejak berbulan-bulan lalu, lho. Kita tidak bisa asal datang ujug-ujug mau bertemu mereka sekarang. Pasti ditolak,” kata Hetih yang spesialis membeli hak buku-buku internasional untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu.
Peran agen literatur penting karena bisa membantu penulis memasarkan karyanya. Penerbit pun terbantu dengan keberadaan agen literatur karena penerbit tinggal terima jadi hasil karya penulis yang sudah diseleksi atau disaring terlebih dahulu oleh agen literatur.