Hokkaido
Bentangan alam dalam balutan putih salju diembusi angin dingin mudah membikin hati yang sepi jadi beku. Namun, petualangan yang menunggu di antara hamparan putih itu akan meninggalkan jejak hangat kala saatnya pulang. Dari Hokkaido, Jepang, berikut ini kenangan hangat yang terkumpul.
Memenuhi undangan Japan National Tourism Organization (JNTO), Kompas bergabung dalam program Familiarization Trip di Hokkaido, Februari lalu. Perjalanan di pulau paling utara Jepang itu meliputi beberapa kota, seperti Sapporo, Otaru, Noboribetsu, Sobetsu, dan Toyako.
Setelah menempuh penerbangan sekitar 7,5 jam dari Jakarta ke Tokyo, perjalanan dilanjutkan dengan penerbangan 1 jam 45 menit ke New Chitose Airport di Hokkaido. Dari Chitose, disambung sekitar 1 jam perjalanan darat untuk mencapai Sapporo, ibu kota Hokkaido.
Tiba di Sapporo, Minggu (10/2/2019) malam, kami disambut desiran angin dingin yang menggigit kulit pada suhu udara minus 4 derajat celsius. Salju tebal menutup trotoar, atap rumah, hingga kap mobil yang terparkir. Pakaian hangat pun disiapkan untuk menikmati Hokkaido keesokan harinya.
Pukul 10.00
Taman Odori Sapporo
Pagi itu, di salah satu blok Taman Odori, menjulang pahatan salju raksasa berwujud Gereja Katedral Helsinki, Finlandia, dengan ketinggian sekitar 5 meter. Pilar-pilar khas Yunani yang dibuat detail mengundang decak kekaguman. Bendera Finlandia dan Jepang berkibar, menandai peringatan 100 tahun hubungan diplomatik kedua negara.
Pahatan salju raksasa itu menjadi salah satu daya tarik Festival Salju Sapporo, yang setiap tahun digelar di Taman Odori. Karya pahatan salju lain juga memeriahkan festival itu dengan beragam tema, seperti pacuan kuda, tokoh kartun, hingga ikon film Star Wars. Tahun ini, festival salju Sapporo sudah digelar ke-70 kali.
Taman Odori juga ramai oleh pengunjung yang menyaksikan aksi pemain snowboarding meluncur dari ketinggian 24 meter. Sebagian lainnya menikmati pertunjukan musik. Tak lupa, menyantap kuliner laut khas Hokkaido, seperti kerang dan cumi panggang, juga sup udang.
Kurang seru rasanya jika jalan-jalan di Taman Odori tanpa naik ke Menara TV Sapporo yang berada di ujung timur taman itu. Dengan membayar 720 yen atau sekitar Rp 93.000, pengunjung dapat mencapai dek observasi di menara setinggi 147 meter itu.
Dari ketinggian, bukan sekadar pemandangan Taman Odori yang tertangkap mata. Di kejauhan, pegunungan—antara lain Gunung Maruyama, Gunung Kamui, Gunung Hyakumatsuzawa, dan Gunung Okura—seolah memagari Kota Sapporo dan gedung-gedung tinggi di dalamnya. Semacam kolaborasi antara modernisasi dan keasrian alam.
Pukul 14.45
Kota Otaru
Berjarak 35 km di barat laut Sapporo, ada Kota Otaru yang populer akan kanalnya. Sebelum ke kanal, kami mengunjungi Museum Kotak Musik Otaru yang berada persis di persimpangan Jalan Sakaimachi.
Di bagian depan museum terdapat jam uap setinggi 5,5 meter dengan berat 1,5 ton. Desainnya persis jam uap Gastown di Vancouver, Kanada. Setiap 15 menit, jam itu memainkan nada yang merebut perhatian wisatawan di sekitar museum. Di situ tersimpan lebih dari 25.000 koleksi kotak musik, juga koleksi kotak perhiasan.
Seiring matahari terbenam, kami bergeser ke Kanal Otaru, yang hanya berjarak sekitar 1 km dari museum. Di jembatan utama kanal, ratusan orang berfoto bergantian. Di tengah kanal itu, lilin-lilin ditata terapung membentuk jajaran cahaya. Di tepian, iluminasi cahaya lilin di balik pahatan salju menjadi sajian memikat mata.
Selepas makan malam di Otaru, kami kembali ke Sapporo untuk bermalam. Menurut Manajer Asosiasi Pariwisata Otaru, Tomoko Nagaoka, perkembangan kunjungan wisatawan ke Otaru cukup pesat. Sekitar 8 juta wisatawan berkunjung dalam setahun, tetapi kebanyakan hanya pulang pergi. Jarak yang tak terlalu jauh, hanya 45 menit perjalanan, membuat turis lebih memilih bermalam di Sapporo.
Pukul 10.00
Noboribetsu Date Jidaimura
Dari Sapporo, pagi itu kami menuju Noboribetsu yang dapat dicapai dalam 1,5 jam dari Sapporo, melalui jalan tol. Setibanya di kota itu, pemberhentian pertama adalah Noboribetsu Date Jidaimura, taman rekreasi yang menggambarkan kota di periode Edo (1603-1867).
Di dekat gerbang masuk, sosok berkostum ninja berdiri mematung di atas gundukan salju. Gayanya yang unik membuat wisatawan tertarik berswafoto dengan latar sosok itu. Dengan membayar 2.900 yen atau Rp 368.000 per individu, pengunjung bisa menikmati berbagai fasilitas di taman yang seluruh bangunannya bergaya khas tradisional Jepang itu. Taman itu dirancang saksama untuk membawa pengunjung ke masa Edo.
Di situ disuguhkan pula pertunjukan drama tentang ninja, samurai, dan oiran (wanita penghibur di zaman Edo). Pengunjung pun bisa mendapat informasi tentang proses pembuatan katana atau pedang panjang jepang yang terbuat dari pasir besi.
Pukul 14.00
Sobetsu-Toyako
Bergeser 45 km ke arah barat laut, mengitari pegunungan di Kota Date, kami tiba di obyek wisata Kereta Gantung Usuzan di Sobetsu. Dengan membayar 1.600 yen atau Rp 208.000, pengunjung bisa menjangkau gardu pandang di Gunung Usu dengan kereta gantung yang terentang sepanjang 1,3 km.
Dari gardu pandang itu, terhampar pemandangan Danau Toya. Danau dengan air berwarna biru tua itu dikelilingi bukit berselimut salju.
Danau Toya adalah danau kaldera yang terbentuk akibat erupsi dahsyat sekitar 110.000 tahun yang lalu. Disusul kemunculan pulau di tengahnya, Pulau Nakajima, 50.000 tahun lalu.
Gunung Usu (733 m) sendiri merupakan gunung berapi aktif yang terbentuk pada kisaran 10.000-20.000 tahun lalu, juga akibat aktivitas erupsi di sekitar Danau Toya. Pada 1944, erupsi Gunung Usu memunculkan Gunung Showa-Shinzan (398 m), yang letaknya berdekatan.
”Gunung Usu dan Showa-Shinzan ini seperti orangtua dan anak. Danau Toya dan Pulau Nakajima diibaratkan kakek-neneknya,” kata Kunitoshi Murakami, Direktur Pengelola Wakasa Resort yang mengelola Kereta Gantung Usuzan. Kawasan Toya-Usu ini termasuk dalam UNESCO Global Geopark.
Sepanjang abad ke-20, Gunung Usu meletus empat kali, yakni pada 1919, 1943-1945, 1977-1978, dan 2000. Kali terakhir meletus, tak ada korban jiwa karena adanya prediksi letusan dan pengungsian dini.
Turun dari Gunung Usu, kami menuju salah satu hotel di Toyako, persis di samping danau, untuk bermalam. Hotel dan resor di sekitar Danau Toya umumnya menyediakan pemandian air panas alami atau onsen. Di sekitar danau itu juga ada atraksi bernuansa kontemporer, yakni terowongan hias Toyako Onsen, yang diterangi 400.000 lampu LED.
Keesokan harinya, ketika pagi terang sempurna, kami pun meluncur menuju Rusutsu, sekitar 35 km di utara Toyako.
Berpelesir di Hokkaido pada musim dingin tak akan lengkap jika kita melewatkan aktivitas luar ruang yang menantang adrenalin: melaju di perbukitan dengan sepeda motor salju, sekadar berjalan mendaki dengan sepatu khusus, atau berpetualang dengan perahu karet yang ditarik sepeda motor salju.