Kalkulasi AS dan Pengakuan Trump atas Jerusalem dan Dataran Tinggi Golan
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN (DARI KAIRO, MESIR)
·4 menit baca
Keputusan Presiden AS Donald Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017 dan mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, 25 Maret lalu, tidak terlepas dari peran politisi dan pengusaha AS, George Mitchell.
Ia pernah menjabat Utusan Khusus AS untuk Perdamaian Timur Tengah periode 2009-2011, dan dikenal sebagai pengusaha kaya di sektor energi. Dialah yang berperan besar di balik terus stabilnya harga minyak dunia saat ini berkat ditemukannya teknologi baru shale oil atau minyak serpih di AS dengan biaya produksi cukup murah, dua dekade lalu.
Shale oil adalah bebatuan sedimen yang mengandung kerogen (campuran bahan-bahan kimia organik), lalu ditambang dan dipanaskan untuk diubah menjadi minyak dan gas.
Mitchell disebut orang yang saat itu bersikeras digelar riset untuk menemukan teknologi baru dalam produksi shale oil sehingga ditemukan teknologi baru tersebut. Berkat shale oil berbiaya produksi cukup murah, cadangan dan stok minyak AS sangat melimpah. AS diberitakan mampu memproduksi shale oil 1,5 hingga 1,8 triliun barel. AS tak lagi tergantung pada impor minyak bumi hitam dari Timur Tengah.
Hal itu mempengaruhi perubahan kebijakan luar negeri AS, khususnya terkait isu Timur Tengah. AS kini lebih bebas menerapkan kebijakan luar negerinya di Timur Tengah meski harus berseberangan kepentingan dengan negara-negara Arab pengeskpor minyak dan bahkan melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB.
Sebelumnya, sejak harga minyak membumbung pasca perang Arab-Israel 1973, AS kerap terkungkung negara-negara Arab Teluk, seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA) dan Qatar akibat ketergantungan AS atas impor minyak negara-negara itu. AS sampai mengobarkan perang melawan rezim Saddam Hussein saat Irak menduduki Kuwait tahun 1990 karena AS saat itu sangat khawatir suplai minyak dari Timur Tengah dengan harga rasional bisa terganggu.
AS kini lebih bebas menerapkan kebijakan luar negerinya di Timur Tengah meski harus berseberangan kepentingan dengan negara-negara Arab pengeskpor minyak.
Kini, kekhawatiran tersebut sudah sirna setelah ditemukannya teknologi baru shale oil. Itulah faktor di balik keberanian Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan. Sebelumnya, Presiden Barack Obama juga berani mencapai kesepakatan nuklir dengan Iran, Juli 2015, meski bertentangan dengan Arab Saudi dan UEA.
Isu keamanan
Sisa kepentingan AS terhadap negara-negara Arab Teluk saat ini hanya soal penjualan senjata. Seperti diketahui, Arab Saudi, UEA, Qatar, dan Kuwait adalah pembeli senjata terbesar buatan AS. Tetapi, soal isu senjata dan keamanan, negara- negara Arab Teluk lebih membutuhkan AS dari pada sebaliknya untuk mempertahankan kekuasaan rezim monarki di negara-negara itu.
Negara-negara Arab Teluk dikenal sangat takut terhadap dua negara besar tetangga mereka, yakni Iran dan Irak, yang memiliki sumber daya manusia dan kekuatan militer lebih unggul. Mereka semakin takut pada Iran pasca-revolusi Iran 1979, karena khawatir revolusi Iran berdampak terhadap negara-negara Arab kaya Teluk itu.
Dalam perimbangan kekuatan hubungan AS-negara Arab kaya Teluk saat ini, AS jauh berada di atas angin.
Mereka juga masih waspada terhadap Irak saat ini karena negara itu didominasi oleh kekuatan-kekuatan politik Syiah yang sebagian sangat pro-Iran. Rasa ketakutan itu mendorong negara-negara Arab Teluk makin bergantung pada AS dan memborong senjata dari AS untuk menjaga keamanan dan kekuasaan rezim monarki di negara-negara Arab Teluk tersebut.
AS saat ini memiliki pangkalan laut permanen Armada V di Bahrain, Pangkalan Udara al-Udeid di Qatar, dan Ali al-Salem di Kuwait. AS pun merasa, dalam perimbangan kekuatan hubungan AS-negara Arab kaya Teluk saat ini, AS jauh berada di atas angin.
Selain isu shale oil itu, faktor lain yang ikut mendorong AS mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan adalah kekhawatiran AS dan Israel atas kemungkinan Iran dan Hezbollah makin mengontrol Dataran Tinggi Golan pascakemenangan rezim Presiden Bashar al-Assad memenangi perang melawan oposisi.
Seperti diketahui, sepertiga Dataran Tinggi Golan saat ini dikuasai Suriah, dan dua pertiganya diduduki Israel. Di mata Israel, posisi Dataran Tinggi Golan semakin strategis untuk antisipasi kemungkinan Iran atau Hezbollah menggunakan wilayah itu untuk menyerang Israel. Kekhawatiran Israel bertemu dengan kepentingan AS yang kini membangun aliansi regional untuk meredam pengaruh Iran.
Mengenai isu Jerusalem, Trump menganggap isu Palestina bukan isu prioritas lagi bagi para pemimpin Arab saat ini. Para pemimpin Arab kini lebih sibuk terlibat dalam pertarungan mempertahankan kekuasaannya daripada mengurus Palestina, dan ditambah adanya perpecahan internal di Palestina antara Fatah dan Hamas.