Kebijakan Luar Negeri, Integrasi Kedaulatan dan Perdamaian Dunia
Oleh
Kristian Oka Prasetyadi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dalam isu hubungan internasional, Calon Presiden nomor urut 01 Joko Widodo berfokus pada kerja sama multilateral serta meningkatkan peran Indonesia sebagai mediator konflik. Sementara itu, Calon Presiden nomor urut 02 mementingkan upaya mempertahankan kedaulatan dan keutuhan wilayah geografis Indonesia.
Hal ini terungkap saat Debat Keempat Calon Presiden Pemilu 2019, Sabtu (30/3/2019). Jokowi menegaskan Indonesia akan terus mempertahankan politik luar negeri bebas aktif. Artinya, Indonesia bebas memperjuangkan kepentingan nasional di tataran internasional sembari aktif memperjuangkan perdamaian dunia. Status Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia akan dimaksimalkan.
Sementara itu, Prabowo berjanji akan menjalin persahabatan dengan negara mana pun. Di saat yang sama, diplomasi Indonesia harus ditopang perlengkapan militer yang kuat. Menurut dia, kekuatan pertahanan TNI masih sangat rapuh dan lemah. Akibatnya, Indonesia akan kesulitan mempertahankan kedaulatan wilayahnya jika ada serangan dari negara lain.
Kebijakan-kebijakan luar negeri yang ditawarkan kedua capres bisa dirangkum sebagai berikut:
Kebijakan luar negeri Joko Widodo:
meneruskan upaya perdamaian di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dan membantu penyelesaian konflik di Afganistan;
menjadi mediator dalam konflik-konflik di negara lain, terutama yang berpenduduk Islam;
melindungi warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri;
meningkatkan kerja sama perdagangan melalui negosiasi perjanjian perdagangan internasional dan mendatangkan investasi asing;
meningkatkan ekspor ke negara-negara berpenduduk muslim di dunia;
dan melibatkan ASEAN (Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara) dalam meningkatkan perdamaian dan keamanan di kawasan.
Kebijakan luar negeri Prabowo Subianto:
melindungi kedaulatan dan keutuhan wilayah geografis Indonesia sebagai kepentingan nasional utama,
meneruskan diplomasi sembari memperkuat kekuatan militer dengan persenjataan yang lebih mutakhir,
meningkatkan kesiapan ancaman perang dengan negara lain,
menghormati kedaulatan masing-masing negara seperti prinsip ASEAN
dan mengupayakan kedaulatan nasional dengan menghentikan impor pangan.
Menanggapi hal ini, pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Yunizar Adiputera menilai kedua capres memiliki pandangan yang berbeda dalam hubungan luar negeri. Jokowi mengutamakan diplomasi perdamaian dan kemanusiaan sebagai kebijakan utama.
Selain itu, Jokowi juga berfokus pada perlindungan WNI serta perdagangan internasional. “Bagi Jokowi, hubungan antarnegara bisa saling menguntungkan semua negara,” kata Yunizar.
Di lain pihak, cara pandang Prabowo dalam hubungan internasional masih sangat tradisional. Prabowo mendefinisikan kepentingan nasional utama sebagai keutuhan dan kedaulatan wilayah. Ini hanya bisa dicapai jika negara kuat dan dihormati.
“Ini terlihat dari kutipan si vis pacem para bellum (jika ingin damai, siaplah berperang). Prabowo mendefinisikan kepentingan nasional utama sebagai keamanan dan survival negara. Bagi Prabowo, kebijakan luar negeri yang baik didukung oleh kekuatan militer dan untuk kedaulatan wilayah. ” kata Yunizar.
Meskipun berbeda cara pandang, prinsip Bebas Aktif akan terus memandu presiden terpilih nantinya. Seiring dengan munculnya kekuatan-kekuatan baru seperti China, prinsip Bebas Aktif pun menjadi semakin penting, bahkan harus dikonsep ulang. Menurut Yunizar, keaktifan Indonesia harus ditunjukkan dengan kehadiran presiden di forum-forum internasional.
Kedua capres memiliki pandangan yang berbeda dalam hubungan luar negeri. Jokowi mengutamakan diplomasi perdamaian dan kemanusiaan sebagai kebijakan utama. Prabowo mendefinisikan kepentingan nasional utama sebagai keutuhan dan kedaulatan wilayah.
Tak sempat dibahas
Waktu debat yang singkat menghalangi munculnya pembahasan kebijakan-kebijakan yang juga penting, seperti konsep Indo-Pasifik yang dibuat Kementerian Luar Negeri. Konsep ini mendorong kawasan Indo-Pasifik yang terbuka, transparan, inklusif, dan menghormati hukum internasional.
Menurut Yunizar, pertarungan kekuasaan antara Amerika Serikat dan China mulai kembali terasa. Karena itu, Indonesia harus memainkan perannya dalam menjaga keutuhan ASEAN. Jangan sampai pertarungan kekuatan di luar kawasan turut memecah belah Asia Tenggara.
Mulai 2019, Indonesia juga akan menduduki kursi anggota non-permanen Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Posisi strategis ini memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk menjadikan isu di kawasan sebagai isu internasional, seperti penangkapan ikan secara ilegal.
“Kejahatan transaksional terencana, penyelundupan manusia, dan perubahan iklim, juga bisa diangkat di DK PBB,” kata Yunizar.
Ke depan, Yunizar berharap Indonesia bisa terus memanfaatkan modal sosialnya sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia untuk diplomasi perdamaian dan kemanusiaan. “Ini bisa disebut sebagai faith-based diplomacy (diplomasi berbasis kepercayaan),” katanya.
Berbekal konsep ini, Indonesia bisa terus mengembangkan Indonesian Aid, program donasi bantuan kemanusiaan dan perdamaian. Untuk menambah pengaruhnya sebagai negara donor, pemerintah bisa bekerja dengan berbagai organisasi kemanusiaan dan agama yang telah berpengalaman dalam penyaluran bantuan kemanusiaan, seperti Aksi Cepat Tanggap (ACT), PKPU Human Initiative, Dompet Dhuafa, dan sebagainya.
“Kalau bisa bekerja sama dengan organisasi-organisasi ini sehingga upaya diplomasinya bisa semakin terasa,” kata Yunizar.