Nyaris Hilang Saat Liputan di Pulau Enggano
Sebagai wartawan Kompas yang bertugas di Jakarta, dinas ke daerah-daerah lain di Indonesia bagi saya merupakan kemewahan. Apalagi, jika ditugaskan untuk masuk hutan serta mengarungi perairan di tempat yang jauh. Hal itu menjadi pelepas penat setelah setiap hari hanya mampu memandang hutan beton di Ibu Kota.
Kesempatan itu datang ketika Amir Hamidy, peneliti herpetologi (mempelajari reptilia dan amfibi) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rabu, 15 April 2015, menawari saya untuk meliput tim Eksplorasi Bioresources Indonesia 2015 ke Pulau Enggano. Pulau ini secara administratif bernama Kecamatan Enggano dan masuk wilayah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu.
Enggano merupakan salah satu pulau terluar Indonesia yang ada di tengah Samudra Hindia, berjarak 175 kilometer dari Kota Bengkulu dan 513 kilometer dari Jakarta. Belum ada hotel dan penginapan di pulau itu. Sinyal telekomunikasi di sejumlah lokasi kabarnya tidak tersedia. Bagi saya, inilah keseruan yang saya tunggu-tunggu sejak resmi menyandang status wartawan 4,5 bulan sebelumnya.
Sebanyak 50 anggota staf LIPI, baik peneliti maupun tenaga teknis, terlibat dalam Eksplorasi Bioresources Indonesia 2015, bagian dari Ekspedisi Widya Nusantara 2015 LIPI. Tujuan tim ini, mengetahui tingkat endemisitas atau kekhasan flora dan fauna di Pulau Enggano.
Selain mendata beragam spesies yang belum diketahui, peneliti LIPI juga menyeleksi sumber daya alam hayati Enggano yang berpotensi bermanfaat, misalnya untuk bahan baku obat baru.
Amir mengingatkan, karena tidak ada hotel, tim bakal bermalam di rumah penduduk atau jika dibutuhkan tidur di hutan. ”Sebaiknya membawa tas ransel untuk mendaki gunung, matras, dan sleeping bag (kantong tidur),” kata Koordinator Utama Eksplorasi Bioresources Indonesia 2015 itu.
Ia tidak menyarankan untuk menggunakan koper mengingat medan yang sulit. Di sini, saya sedikit menyesal tidak pernah ikut kegiatan pencinta alam sewaktu sekolah menengah hingga kuliah. Saya sama sekali tidak memiliki jenis-jenis barang yang disebutkan Amir.
Karena tidak ada hotel, tim bakal bermalam di rumah penduduk atau jika dibutuhkan tidur di hutan.
Untungnya, sesuai informasi senior dan editor, saya bisa meminjam peralatan tersebut dari kantor. Kepanikan karena saya hanya punya waktu dua hari untuk mempersiapkan diri pun bisa berkurang.
Rombongan LIPI bertolak dari Jakarta menuju Kota Bengkulu pada Kamis (16/4/2015), tetapi saya baru bisa terbang pada Jumat (17/4/2015) pagi. Sorenya, kami menumpang bus menuju Pelabuhan Pulau Baai untuk menumpang feri ke Pelabuhan Kahyapu di Enggano.
Belum sampai pulau, saya sudah terpana dengan bintang-bintang yang berserakan di langit malam sewaktu pelayaran. Pemandangan itu jadi hiburan setelah badan terasa tidak enak karena mabuk laut.
Apalagi, lama pelayaran Pulau Baai-Enggano mencapai 12 jam. Keelokan bintang-bintang akan jadi santapan setiap malam ketika sudah di Enggano mengingat pulau itu masih minim penerangan.
Kami tiba Sabtu, 18 April 2015, sekitar pukul 06.00, di Kahyapu, Enggano, lalu melanjutkan perjalanan menuju permukiman di Desa Malakoni dengan mobil-mobil bak terbuka. Sebagian rute melewati pasir pinggir laut.
Sesampai di rumah salah satu keluarga yang akan jadi tempat kami menginap, aktivitas yang mengandalkan aliran arus listrik—semacam mengisi daya baterai ponsel—belum bisa berjalan. Sebab, listrik hanya mengalir mulai pukul 17.00 hingga 23.00 dengan sumber genset berbahan bakar solar.
Dari sini, mata saya terbuka. Para peneliti tidak seperti bayangan saya selama ini, yang lebih banyak mengurung diri di dalam ruang kerja atau laboratorium dan menjadi kuper alias kurang pergaulan. Peneliti malah harus rajin kerja lapangan karena lapangan adalah sumber pengetahuan.
Saya menyaksikan bagaimana mereka menyiapkan peralatan penelitian, membahas rencana perjalanan, mengobrol hangat dengan warga setempat, hingga berjalan menembus hutan. Beragam risiko pun mesti mereka hadapi.
Pohon-pohon rotan di hutan menjalar dan siap menancapkan duri-durinya pada tubuh yang melintas. Jalan penghubung antardesa tidak selamanya mulus. Kadang-kadang sepeda motor yang kami tumpangi terpeleset dan membuat penunggangnya terbanting.
Jika harus mengambil sampel di daerah perairan, misalnya, tim peneliti mikrobiologi yang mengambil sampel spons di laut harus siap dengan cuaca buruk dan gelombang tinggi yang mengancam sewaktu-waktu. Saya pun seakan wajib merasakan sedikit kepahitan para peneliti ini. Salah satunya, mendapat gatal yang luar biasa di sekujur tubuh saat sudah di Jakarta sepulang dari Bengkulu. Rupanya, saya diserang tungau!
Saya khawatir sehingga menghubungi Amir untuk tahu seberapa bahaya ”serangan” yang saya alami. Amir menuturkan, terserang gatal akibat tungau adalah hal biasa bagi peneliti seusai ekspedisi di alam liar. Ia menyarankan agar saya mandi di laut atau mandi dengan air garam agar kutu yang hinggap di kulit mati. Atau, oleskan minyak tawon dan minyak kayu putih. ”Dulu aku pakai bedak doris (bedak pembasmi kutu pada hewan peliharaan) juga,” ujarnya.
Namun, hal yang paling membuat saya bergidik sewaktu mengingat kembali liputan ke Enggano adalah pengalaman nyaris hilang di hutan Pulau Enggano.
Saat itu, Minggu, 19 April 2015, saya mengikuti sekelompok peneliti dan staf LIPI dari Kebun Raya Bogor, Kebun Raya Bali, dan Kebun Raya Cibodas. Mereka mencari benih tumbuhan di hutan primer Desa Meok untuk ditanam di kebun raya masing-masing.
Namun, hal yang paling membuat saya bergidik sewaktu mengingat kembali liputan ke Enggano adalah pengalaman nyaris hilang di hutan Pulau Enggano.
Waktu itu, kami diantar seorang pemandu lokal. ”Kami waktu itu percaya saja, apalagi kami, kan, buta dengan daerah sekitar. Pengalaman selama ini di lapangan, kami sangat bergantung pada pemandu lokal,” kata Bayu Adjie, peneliti paku-pakuan dari Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ”Eka Karya” Bali LIPI yang sekarang mengepalai kebun raya tersebut.
Bayu mulai curiga saat perjalanan pulang karena suara kendaraan yang lalu-lalang di jalan semakin senyap. Tim semakin panik ketika pemandu lokal mulai berjalan lebih cepat dari kecepatan berjalan rata-rata mereka, yang kemungkinan berusaha untuk mencarikan jalan keluar.
Bayu menyesal karena tidak menandai terlebih dahulu titik koordinat lokasi awal dan sejumlah lokasi lain dengan perangkat sistem pemosisi global (global positioning system/GPS). Tim juga tidak mengingat-ingat penanda alami di perjalanan. Kami pun tidak dilengkapi senter, bekal, dan perlengkapan menginap di luar ruang karena tidak berencana untuk bermalam di hutan.
Untungnya, saya dan tim kebun raya akhirnya mencapai jalan raya. Kami lantas dijemput tim lain dengan mobil bak terbuka. Penjemput kami bercerita, mereka hampir saja meminta bantuan warga satu kampung untuk mencari kami di hutan karena khawatir kami belum kunjung kembali.
Ada baiknya jurnalis selalu membekali diri dengan pelatihan cara bertahan hidup dan mencegah diri tersesat di alam liar.
Sewaktu tim menyampaikan protes kepada koordinator lokal, terungkap kemudian bahwa pemandu lokal tersebut pendatang yang juga belum sepenuhnya paham lika-liku hutan di sana.
Saya lalu berpikir, ada baiknya jurnalis selalu membekali diri dengan pelatihan cara bertahan hidup dan mencegah diri tersesat di alam liar.
Namun, di balik segala penderitaan tersebut, saya tetap ingin kembali ke Enggano suatu saat. Pulau ini memberi saya begitu banyak ”hadiah” yang menyegarkan mata, di antaranya air nan jernih di laut dan sungai, terumbu karang yang elok dan terlihat dari atas permukaan laut, pantai berpasir putih, hingga jamur-jamur menyala yang menjadi penerang jalan menuju hutan pada malam hari.
Baca juga : Perjuangan Menangkap Si Api Biru
Saya juga dibuat takjub oleh melimpahnya ikan di Enggano. Sewaktu mengikuti tim mikrobiologi menyusuri laut dengan perahu di sekitar pesisir Taman Buru Gunung Nanua, rasa lapar menyergap karena hari mulai siang. Kami pun meminta awak perahu untuk berburu ikan agar bisa disantap saat makan siang.
Ia segera mengenakan kacamata selam dan menggenggam tombak, lalu meluncur ke dasar laut. Satu per satu ikan ditombaknya, hingga akhirnya ia menaikkan lima ikan segar berukuran besar ke atas perahu hanya dalam 20 menit. ”Kalau tidak disuruh menangkap ikan yang beda-beda, saya bisa menombak 20 ikan,” kata awak perahu kami ini.
Mengagumkan….
Kami kemudian merapat ke salah satu sisi pantai dan berlindung dari hujan di bawah atap pondok sekelompok nelayan. Nakhoda perahu kami membersihkan ikan-ikan yang baru saja ditangkap, lalu membakarnya. Untuk nasi dan sambal, kami meminta sebagian dari para nelayan yang jadi tuan rumah kami.
Begitu ikan, nasi, dan sambal menyentuh indera pencecap, rasa bahagia tidak terkira membuncah. Ini adalah paket ikan bakar ternikmat yang pernah saya rasakan seumur hidup, mengalahkan sajian di warung dan restoran yang pernah saya datangi. Daging ikan begitu legit dan manis. Butir-butir nasi dan sambal, meski dimasak dalam kondisi tergolong darurat, amat menggugah selera.
Baca juga : Dua Jam Mendaki Jalur Terjal untuk Meliput Tambang Longsor
Bertugas ke sejumlah daerah memberi saya kesempatan bersyukur menjadi orang Indonesia. Saya seperti menemukan harta karun di setiap daerah yang berbeda, yang tersaji tidak dalam kemasan mewah.