Sebanyak 36 penumpang pesawat Garuda PK-GNJ "Woyla" yang menjadi sandera tiba kembali di Lanuma Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (31/3/1981) siang.
Oleh
Nasru Alam Aziz
·3 menit baca
Bandar Udara Internasional Don Muang, Bangkok, pukul 02.40 waktu setempat, Selasa, 31 Maret 1981. Sebanyak 20 personel pasukan khusus anti teror dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam senyap menyeberangi landasan, menyergap sebuah pesawat berpenumpang 57 orang yang sedang dikuasai oleh lima orang teroris bersenjata api sejak Sabtu.
Dari sinilah drama pembebasan sandera berdurasi tiga menit bermula. Tangga-tangga disandarkan ke dua sisi badan pesawat DC-9 Woyla milik maskapai Garuda Airlines dengan nomor penerbangan GA-206. Beberapa prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus)—ketika itu bernama Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha)—memanjat ke sayap pesawat, lalu membuka paksa dua pintu secara bersamaan dan menyerbu masuk. Senapan mesin menyalak di dalam kabin pesawat. Sebagian pembajak berusaha keluar dari pesawat, tetapi berhasil dilumpuhkan oleh prajurit komando.
Seusai tembak-menembak, empat pembajak terkapar (tiga meninggal di tempat dan satu di rumah sakit), sementara seorang prajurit dan pilot terkena tembakan. Pemimpin pembajak, Imran bin Muhammad Zein, selamat dalam kontak senjata itu dan ditangkap oleh pasukan antiteror. Dalam tiga menit pasukan para komando telah menguasai situasi. Pukul 02.46, seorang anggota pasukan khusus keluar dari pintu depan pesawat mengacungkan jempol.
Menit-menit berikutnya terdengar raungan sirene ambulans mendekati pesawat yang sudah tiga hari lebih terparkir di landasan. Beberapa orang segera diangkut ke rumah sakit. Sebuah bus kemudian datang menjemput para sandera. Semua penumpang selamat. Pukul 03.20, ambulans terakhir meninggalkan lokasi kejadian. Letnan Satu (Anumerta) Achmad Kirang dan Kapten Pilot Herman Rante meninggal saat dirawat di rumah sakit.
Atas jasanya dalam operasi pembebasan sandera itu, Kirang yang saat itu berpangkat capa (calon perwira) mendapat Bintang Sakti dan kenaikan pangkat istimewa dua tingkat, prajurit para komando lainnya juga mendapat Bintang Sakti dan kenaikan pangkat satu tingkat. Pembajakan pesawat GA-206 rute Palembang-Medan—kemudian dibelokkan ke Bangkok setelah mengisi bahan bakar di Penang (Malaysia)—itu bermotif tuntutan pembebasan beberapa orang yang ditahan karena terlibat pembunuhan empat anggota polisi dalam Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat. Para pembajak juga menuntut tebusan 1,5 juta dollar AS.
Kompas mencatat dua kali peristiwa pembajakan pesawat maskapai Indonesia sebelumnya. Pertama, pesawat jenis Vickers Viscount milik Merpati Nusantara Airlines rute Surabaya-Jakarta, dengan nomor penerbangan 171, pada 5 April 1972 di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Kedua, pesawat DC-9 milik Garuda dengan nomor penerbangan GA-488 dari Jakarta menuju Surabaya, 5 September 1977.
Sumber: Kompas, Kamis, 6 April 1972, halaman 1; Kompas, Selasa, 6 September 1977, halaman 1; Kompas, Minggu, 29 Maret 1981, halaman 1; Kompas, Selasa, 31 Maret 1981, halaman 1; Kompas, Rabu, 1 April 1981, halaman 1; Kompas, Jumat, 3 April 1981, halaman 1; Kompas, Sabtu, 4 April 1981, halaman 1.