Bisnis untuk Lengkapi Kehidupan...
Dalam beberapa tahun terakhir, gairah industri properti di sektor residensial atau hunian dianggap melesu. Anggapan ini muncul akibat ketidakcocokan antara ekspektasi pengembang dan konsumen terkait harga properti. Penyerapan properti di sejumlah lokasi pun melambat.
Daya serap sektor properti yang rendah berimbas pada meningkatnya angka kekurangan rumah (backlog) setiap tahun. Berdasarkan data yang dihimpun Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI), pada awal 2019 angka backlog mencapai 11,4 juta unit. Dengan asumsi pertambahan backlog sebesar 1 juta unit per tahun, artinya pada 2020 angka backlog akan mencapai 12,4 juta unit.
Penduduk berpenghasilan menengah kerap kesulitan memperoleh tempat tinggal di pusat ekonomi. Meningkatnya angka backlog setiap tahun sejalan dengan meningkatnya harga properti.
Ujungnya, jika tidak menyewa, kemampuan ekonomi warga menengah hanya sanggup untuk membeli rumah yang berjarak 2-3 jam perjalanan dari tempat mereka bekerja. Kondisi ini sebenarnya membentuk struktur alami industri properti di Indonesia yang memiliki keunikan tersendiri dan berbeda dari industri lainnya.
Besarnya pangsa pasar membuat tidak ada satu atau dua konglomerasi yang mampu menguasai bisnis properti. Kompetisi antarpengembang tak bisa dihindari.
Kompetisi itu sesungguhnya membangun ekosistem komplementer atau saling melengkapi. Di satu wilayah, perusahaan realestat juga harus memastikan agar perusahaan pengembang lain bisa berkembang. Bisnis mereka bisa sama-sama tumbuh karena perkembangan wilayah yang dibangun.
Populasi yang besar
Dalam kunjungannya ke redaksi Kompas, pekan lalu, CEO Lippo Karawaci Tbk John Riady menuturkan, populasi Indonesia yang besar dengan jumlah kelas menengah yang meningkat merupakan pasar yang potensial. Pengembang tidak membangun hanya dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi kini, tetapi melihat potensi 3-5 tahun ke depan.
Lippo Karawaci mengutamakan pengembangan bisnis di sektor properti untuk menangkap peluang segmen perumahan. Sasarannya pada masyarakat kelas menengah dengan populasi yang bertumbuh mencapai 60 juta warga.
John menuturkan, kini rasio jumlah warga berbanding tingkat hunian rumah di Indonesia masih di kisaran 60 persen. Rasio di India, sebagai negara dengan kondisi ekonomi dan kepadatan penduduk yang tak jauh berbeda, mencapai 80 persen. Dalam 10 tahun ke depan untuk memenuhi rasio 80 persen, sedikitnya di negeri ini harus membangun 20 juta rumah. Artinya, dalam setahun harus terbangun 2 juta unit rumah.
”Tentu kami tak akan sanggup mengakomodasi kebutuhan itu sendirian. Setiap pengembang harus saling mengisi segmentasi pasar yang ada,” tuturnya. Ratusan pengembang harus saling melengkapi memenuhi kebutuhan pasar.
”Fundamental industri properti sangat kuat sehingga antara satu pengembang dan pengembang lain tak perlu saling bunuh. Setiap perusahaan hanya perlu fokus menggarap proyek masing-masing dengan transparan pada investor dan masyarakat,” ujarnya.
Selain fokus menyelesaikan proyek yang ada, sebagai pimpinan tertinggi Lippo Karawaci, John berkomitmen memulihkan nama baik perusahaan yang sempat terganggu. Dalam tiga tahun terakhir, nilai saham PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) anjlok 72,17 persen. Saat ini nilai kapitalisasi pasar dari LPKR di pasar modal Rp 6,5 triliun. Padahal, total nilai aset bersih (adjusted NAV) dari perusahaan ini lebih kurang Rp 70 triliun.
”Kami ingin memastikan Lippo Karawaci menghasilkan pendapatan yang baik supaya harga saham baik dan menguat. Kami terbuka dalam menjalankan model bisnis baru dan membuktikan pada pelaku pasar melalui dividen yang kami bayarkan,” kata John.
Prospek baik
Kepala Bidang Riset dan Konsultan PT Savills Consultants Indonesia Anton Sitorus mengatakan, prospek pertumbuhan tahun ini masih bagus. Jika melihat tren yang terjadi sepanjang 2018, ada potensi kenaikan di beberapa sektor properti, salah satunya di komersial.
”Hambatannya harga properti saat ini dirasa terlalu tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir, harga properti naik sangat signifikan, tidak sejalan dengan kenaikan penghasilan dan daya beli,” jelasnya.
Saat ini, kata Anton, pengembang mesti membuat produk yang menarik. Sejumlah hal yang dapat menarik pembeli ialah harga hunian terjangkau, reputasi pengembang, lokasi hunian strategis dari fasilitas publik, serta jarak yang dekat dengan fasilitas transportasi umum.
Namun, sebagai negara yang memiliki tingkat demografi yang baik, pertumbuhan kelas menengah atas di Indonesia dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jadi lebih solid dari tahun sebelumnya. Hal ini ditunjang oleh pertumbuhan infrastruktur dan perbaikan fiskal serta moneter.
Besarnya populasi dan pertumbuhan kelas menengah, jelas Anton, menarik perusahaan asing berinvestasi di sektor residensial. Mereka berasal dari Jepang dan Korea Selatan.
Untuk meningkatkan jumlah developer, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk bersama Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menginisiasi sekolah properti bagi pengembang perumahan, yang akan dinamai School of Property Developer (SPD).
Direktur Utama BTN Maryono mengatakan, BTN berkomitmen tak hanya menambah jumlah pengembang lewat beragam pelatihan atau pendampingan, tetapi juga meningkatkan kualitas pengembang, khususnya di level pemula.
Jumlah developer di Indonesia belum cukup dengan ada backlog perumahan yang mencapai 11,4 juta unit. Idealnya, dibutuhkan 2.000 developer per tahun dengan asumsi per pengembang dapat membangun sekitar 400 rumah.
Sepanjang 2018, BTN menyalurkan kredit Rp 237,8 triliun, tumbuh 19,48 persen dibandingkan tahun sebelumnya Rp 198,9 triliun. Sebanyak 80 persen merupakan kredit konsumer yang didominasi kredit perumahan rakyat (KPR).