Deflasi Pangan Terjadi di Tengah Inflasi, Petani Masih Tertekan
JAKARTA, KOMPAS - Laju indeks harga konsumen pada Maret 2019 memang mengalami inflasi. Akan tetapi, kelompok bahan makanan masih mengalami deflasi karena tekanan harga di tingkat petani.
Hal itu menyebabkan petani masih tertekan. Indikatornya adalah Nilai Tukar Petani (NTP) Tanaman Pangan menurun karena penghasilan petani lebih rendah dari pengeluaran petani.
Badan Pusat Statistik mencatat, inflasi atau kenaikan indeks harga konsumsi (IHK) pada Maret 2019 sebesar 0,11 persen atau lebih rendah dibandingkan Maret 2018 yang sebesar 2,48 persen. Inflasi sepanjang Januari hingga Maret 2019 sebesar 0,35 persen.
Akan tetapi, ditinjau dari jenis pengeluaran, kelompok bahan makanan mengalami deflasi atau penurunan IHK sebesar 0,01 persen. "Deflasi bahan makanan yang terbesar disumbang beras, ikan segar, daging ayam ras, dantelur ayam ras," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (1/4/2019).
Sebelumnya pada Februari 2019, deflasi yang terjadi secara bulanan sebesar 0,08 persen. Kelompok bahan makanan memiliki andil deflasi tertinggi. Angka deflasi bahan makanan saat itu sebesar 1,11 persen.
Sementara pada Maret tahun lalu, inflasi bulanan secara umum sebesar 0,2 persen. Kelompok bahan makanan menyumbang inflasi tertinggi dengan andil sebesar 0,05 persen.
Inflasi bulanan secara umum sebesar 0,2 persen. Kelompok bahan makanan menyumbang inflasi tertinggi dengan andil sebesar 0,05 persen.
Andil deflasi beras di kelompok bahan makanan pada Maret 2019 sebesar 0,03 persen. Hal itu terjadi karena harga beras turun akibat penurunan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani.
Suhariyanto mengatakan, harga beras kualitas medium di tingkat penggilingan turun sebesar 2,49 persen dibanding bulan sebelumnya menjadi Rp 9.555 per kilogram (kg).
Tren penurunan harga beras medium itu merupakan imbas merosotnya harga GKP di tingkat petani. Harga GKP pada Maret 2019 turun sebesar 9,87 persen dibanding Februari 2019 menjadi Rp 4.706 per kg.
"Anjloknya harga GKP tersebut juga terjadi secara tahunan. Dibandingkan dengan Maret 2018, harga GKP pada Maret 2019 merosot 3,22 persen," kata dia.
Menurut Suhariyanto, penurunan harga secara tahunan ini terjadi akibat hasil produksi pada Maret 2019 lebih melimpah dibanding Maret 2018. Pembentukan harga GKP di Maret 2019 juga bergantung daya serap pemerintah.
"Oleh sebab itu, saat ini kunci (pembentukan harga) ada di pengelolaan stok beras secara nasional," ujarnya.
Harga GKP jatuh
Suhariyanto menambahkan, BPS menemukan sejumlah sampel transaksi GKP yang harganya di bawah harga pembelian pemerintah (HPP). Harga GKP itu di bawah ketentuan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah sebesar Rp 3.700 per kg. Misalnya di Nusa Tenggara Barat yang sebesar Rp 3.200 per kg.
Baca juga: Selamatkan Harga di Petani
Terkait jatuhnya harga GKP, pemerintah belum memberikan sinyal untuk menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) dalam rangka melindungi harga di tingkat petani.
"Sudah ada fleksibilitas 10 persen menjadi Rp 4.070 per kg untuk menyerap gabah di petani. Kalau harganya lebih dari itu, Perum Bulog serap dengan skema komersial," ujar Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman saat ditemui secara terpisah di Jakarta, Senin.
Secara umum, BPS mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) turun 0,21 persen secara bulanan pada Maret 2019 menjadi 102,73 poin. Rendahnya harga GKP itu juga menyebabkan NTP Tanaman Pangan pada Maret 2019 turun sebesar 1,33 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Baca juga: Deflasi Terjadi akibat Merosotnya Harga di Tingkat Petani
NTP tersebut terbentuk oleh indikator indeks harga yang diterima petani (It) dan indeks harga yang dibayar petani (Ib). Penurunan NTP itu terjadi karena harga yang diterima petani lebih rendah dari harga yang dibayar petani. NTP Tanaman Pangan misalnya, harga yang diterima petani turun 1,04 persen, sedangkan yang dibayar petani naik 0,29 persen.
Menurut Amran, NTP tidak bisa dilihat secara bulanan untuk menggambarkan kesejahteraan petani. "Kalau dibaca per bulan itu keliru. Seharusnya dibaca tahunan karena penanaman bersifat musiman," ucapnya.
Di sisi lain, laju inflasi di pedesaan mencapai 0,33 persen. Penyumbang terbesarnya berasal dari kelompok bahan makanan dengan andil berkisar 0,64 persen.
Laju inflasi di pedesaan mencapai 0,33 persen. Penyumbang terbesarnya berasal dari kelompok bahan makanan dengan andil berkisar 0,64 persen.
Gangguan kesejahteraan
Deflasi pangan di tengah inflasi, menurut Peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Latif Adam, menunjukkan adanya gangguan kesejahteraan pada petani.
"Harga bahan pangan yang diproduksi petani turun sedangkan harga di luar pangan yang dikonsumsi petani meningkat," kata dia.
Menut Latif, tekanan pada kesejahteraan petani tersebut merupakan imbas dari buruknya tata kelola stok beras nasional oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan lemahnya sense of urgency pemerintah dalam manajemen stok beras nasional.
Jika terus dibiarkan, kelemahan tersebut menjadi disinsentif bagi petani. Untuk itu, pemerintah perlu membenahi tata kelola stok beras nasional dan menjadikannya sebagai agenda penting.
"Tujuaanya adalah melindungi petani. Apalagi, pola jatuhnya harga gabah di tingkat petani saat panen raya selalu terjadi secara tahunan sehingga dapat diprediksi dan diantisipasi dengan kebijakan yang tepat sasaran," kata dia.