Jargon-jargon Seruan Persatuan Global
Pidato sejumlah tokoh dunia di berbagai forum ekonomi memunculkan jargon-jargon keprihatinan atas kesejahteraan masyarakat global saat ini. Mereka juga menyerukan persatuan seluruh masyarakat dunia dalam menghadapi tantangan persoalan global.
Jurang ketimpangan kesejahteraan antarnegara terus berlangsung hingga kini. Ketimpangan ekonomi, pendidikan, dan teknologi telah lama memunculkan sekat-sekat antara negara maju, berkembang, dan negara miskin.
Sekretaris Jenderal International Trade Union Confederation (ITUC) Sharan Burrow memunculkan istilah inequality by design dalam pidatonya di World Economic Forum, di Davos, Swiss, Januari 2018. Model pertumbuhan ekonomi global yang ada saat ini telah memberi ruang bagi keserakahan korporasi yang berujung pada kehancuran kontrak sosial dan ketimpangan. Penghasilan global untuk orang-orang yang bekerja telah turun selama tiga dekade terakhir dan ketidaksetaraan pendapatan terjadi di banyak negara.
Tiga tahun sebelumnya, istilah a rising tide lifting all boats muncul dalam pidato Direktur Pelaksana International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde di forum Grandes Conferences Catholiques, di Brussels, Belgia. Ungkapan yang pernah disampaikan John F Kennedy, presiden ke-35 Amerika Serikat, pada 1960-an itu menggagas pentingnya perbaikan ekonomi yang akan memberikan manfaat bagi seluruh masyarakat di dalam sistem ekonomi tersebut.
Christine Lagarde menegaskan kembali ungkapan itu dalam konteks kesejahteraan masyarakat di berbagai belahan dunia. Jika negara-negara yang tertinggal diibaratkan sebagai kumpulan kapal laut, reformasi struktural, khususnya dalam aspek pendidikan dan alih teknologi, akan memberikan dampak ”gelombang pasang” yang pada gilirannya mampu mengangkat kapal-kapal itu.
Di tengah situasi dunia yang demikian, sejumlah negara khususnya negara besar justru menampilkan perilaku sebaliknya. Mereka bergulat pada geoekonomi dan geopolitik di tengah krisis yang tengah melanda.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China, atau kebijakan China terkait pembatasan impor batubara dari Australia, misalnya. Kebijakan-kebijakan tersebut berdampak ke negara-negara berkembang yang pada akhirnya justru menjadi penghambat kebangkitan ekonomi global. Dalam bidang politik, terjadi ketegangan antara Korea Utara dan AS. Sementara teknologi yang memberi manfaat besar, tetapi juga mengakibatkan disrupsi dunia.
Pemerintah Indonesia juga mengungkapkan keprihatinan atas berbagai situasi geoekonomi dan geopolitik tersebut. Presiden Joko Widodo, dalam pidatonya pada Pertemuan Tahunan IMF dan Bank Dunia, 12 Oktober 2018, di Nusa Dua, Bali, mengilustrasikan kondisi dunia saat ini serupa dengan film yang ditayangkan oleh Home Box Office AS, yaitu Game of Thrones, yang sarat dengan rivalitas dan kompetisi.
Ajakan negara maju kepada negara berkembang untuk bergabung dalam perdagangan bebas dan keuangan terbuka adalah sikap yang baik. Kendati demikian, hubungan antarnegara maju semakin menegangkan. Presiden mengatakan, ”Dengan banyaknya masalah perekonomian dunia, sudah cukup bagi kita mengatakan winter is coming”. Menyambung ilustrasi sebelumnya di mana pada film Game of Thrones terdapat bahaya yang mengancam, yaitu musim dingin atau winter.
Maka tidak mengherankan jika Laporan Risiko Global World Economic Forum 2019 oleh Aengus Collins, Kepala Bidang Risiko Global dan Agenda Geopolitik, memunculkan istilah sleepwalking economy. Masyarakat global sekarang justru sedang tidur sambil berjalan untuk menuju ke krisis berikutnya.
Bahaya mengancam
Tanpa disadari, di tengah gejolak, terdapat bahaya lain yang juga mengancam dunia. Ancaman kelesuan ekonomi dan ketegangan politik dibayangi oleh persoalan lain, yaitu lingkungan.
Laporan Risiko Global WEF 2019 menyebutkan bahwa lingkungan terkena imbas dari pembangunan global. Eksploitasi sumber daya mulai direspons oleh alam. Bencana alam di mana-mana, kegagalan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, krisis air, dan masih banyak lagi.
Masalah mengenai perubahan iklim global pun direspons oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dengan adanya Perjanjian COP (Conference of Parties) 21 yang ditandatangani di Paris oleh 195 negara anggota. Perjanjian Paris tersebut bertujuan untuk menahan laju peningkatan temperatur global, beradaptasi dengan dampak dari perubahan iklim, serta membuat aliran finansial yang konsisten guna mencapai pembangunan yang rendah emisi gas rumah kaca.
Namun, perjanjian Paris sendiri belum menjadi solusi konkret untuk persoalan bersama dunia tersebut. Christiana Figueres, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, mengungkapkan, ”COP 21 was an easy part”. Melaksanakan konferensi perubahan iklim PBB COP tahun 2015 adalah pekerjaan mudah. Hal tersebut hanyalah langkah awal. Hal yang justru sulit, bagaimana komitmen negara-negara tersebut dalam melaksanakannya.
Jalan keluar
Sebenarnya, saat cuaca ekonomi global mulai berubah baik seperti sekarang adalah momentum tepat untuk bekerja bersama dan mencapai tujuan bersama. Fix the roof while sun is shining, demikian istilah yang diungkapkan Christine Lagarde saat berpidato di Kantor Pusat IMF, Washington DC, AS, Oktober 2018.
Karena itu, pembangunan manusia juga menjadi sasaran dunia saat ini, seperti diungkapkan oleh Jim Yong Kim, Presiden Bank Dunia, dalam pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali, tahun lalu. Anggapan bahwa demi mencapai keberhasilan harus mengalahkan pihak lain perlu diperbaiki, menurut Presiden Joko Widodo.
Kesimpulan pidato Presiden Joko Widodo di pertemuan IMF-Bank Dunia tersebut dengan analogi film Avengers the Infinity War. Perang dagang sudah selayaknya dihentikan, yang perlu dilakukan sekarang adalah prevent trade wars from becoming the infinity war. Para avengers perlu menyadari bahaya yang mengancam itu, dan bersatu untuk mengalahkannya. Normalitas kebijakan dan pemanfaatan disrupsi untuk membentuk ekonomi global yang inklusif seharusnya menjadi fokus penyelesaian persoalan yang terjadi saat ini.
Christine Lagarde, Direktur Pelaksana IMF, dalam konferensi pers pembukaan Rapat Tahunan IMF-Bank Dunia di Bali, 11 Oktober 2018, menyebutkan bahwa demi mencapai tujuan bersama dibutuhkan kebersamaan. Lagarde, mengadopsi istilah Bali, menyama braya. Artinya, semua bersaudara dan harus bergandengan tangan pada perahu yang sama dan saling mengarahkan. Dibutuhkan semangat gotong royong yang menekankan kerja sama multilateral di tengah kondisi ketidakpastian perekonomian dan keuangan global.
Semangat kebersamaan yang disampaikan Lagarde terinspirasi oleh Indonesia dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Unity in Diversity, disampaikan di kantor IMF, satu minggu sebelum pelaksanaan rapat tahunan di Bali. Menurut dia, kondisi dunia yang beragam dengan latar belakang yang berbeda, sama seperti Indonesia. Namun, jika bersama-bersama, akan lebih mungkin bagi negara-negara meningkatkan kesejahteraan rakyatnya daripada harus berjalan sendiri-sendiri. Pada akhir pidatonya, Lagarde mengajak semua penduduk dunia bekerja sama, mengarahkan ekonomi dunia kepada haluan yang tepat dan mencapai pelabuhan baru yang lebih baik.
Perdana Menteri India Narendra Modi juga menekankan diperlukannya persatuan. Dalam pertemuan WEF di Swiss, Modi mengungkapkan semboyan India Sabka Saath, Sabka Vikas, yang telah mengangkat perekonomian dunia. Menurut dia, semboyan tersebut relevan untuk diterapkan di dunia di tengah gejolak yang sedang terjadi. Persatuan dan kerja sama akan menjadi jawaban untuk terbentuknya ekonomi global yang inkusif.
Hal terpenting saat ini bukanlah berpangku tangan menunggu gejolak ini berakhir. Yang harus dilakukan adalah memahami perubahan yang terjadi. Bagaimana negara-negara di dunia merespons kondisi ini dan bergandengan tangan melawan bahaya yang mengancam. Niat mempertahankan ego politik dan ekonomi antarnegara perlu diurungkan dan pertarungan harus dihentikan. (Agustina Purwanti/Litbang Kompas)