Kelompok HAM Persoalkan Tewasnya Belasan Warga di Filipina
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO
·3 menit baca
BACOLOD, SENIN — Kepolisian Filipina menyatakan, Minggu (31/3/2019), sebanyak 14 warga yang diduga sebagai para pemberontak komunis di negeri itu tewas dalam sebuah penggerebekan aparat pada akhir pekan. Namun, sejumlah kelompok penggiat hak asasi manusia menyatakan bahwa orang-orang yang tewas itu adalah para petani yang menjadi korban-korban terbaru dalam pembunuhan di luar proses hukum oleh aparat Filipina.
Puluhan polisi, yang didukung oleh pasukan militer, atas persetujuan pengadilan setempat menggeledah rumah-rumah di tiga kota di Provinsi Negros Oriental. Ketiga kota itu adalah Canlaon, Manjuyod, dan Santa Catalina.
Seorang pejabat kepolisian Filipina mengatakan, belasan pria merespons penggeledahan itu dengan kekerasan sehingga pihak aparat bertindak tegas. Seorang petugas polisi ditembak pada kaki dan terluka dalam penyisiran anti-pemberontakan dan kriminalitas itu. Sebanyak 15 tersangka lainnya ditangkap dalam penggeledahan tersebut.
Kepala polisi daerah, Debold Sinas, mengatakan, ada enam tersangka pemberontak dan pendukung pemberontak melarikan diri. Para penegak hukum menyita 3 senapan, 25 pistol, senapan buatan sendiri, 3 granat, amunisi, dan dokumen pemberontak dalam serangan serentak di tiga kota itu.
”Ada 14 tersangka tewas akibat baku tembak selama pelaksanaan surat perintah penggeledahan,” kata Sinas dalam laporannya kepada kepala polisi nasional Filipina.
Namun, tindakan aparat itu mendapat kecaman. Kelompok penggiat hak asasi manusia dan petani mengecam keras pembunuhan terhadap orang-orang yang mereka katakan adalah para petani, termasuk dua kepala desa. Mereka menyerukan digelar penyelidikan independen.
Mengutip istri salah satu pria yang tewas, Edgardo Avelino, Federasi Pekerja Pertanian mengatakan bahwa 10 pria berseragam secara paksa memasuki rumah mereka sekitar tengah malam. Para pria berseragam itu mengaku membawa surat perintah penangkapan. Namun, hanya selang beberapa saat, orang-orang itu dilaporkan menembak Avelino dan saudara lelakinya, Ismael.
Petugas gereja
Uskup Katolik Roma, Gerardo Alminaza, mengatakan bahwa di antara mereka yang terbunuh adalah seorang petugas gereja yang dikenal karena karakter baiknya dan beberapa lainnya adalah anggota kelompok gereja. Kekejaman yang dilakukan oleh penegak hukum, menurut Alminaza, justru dapat menimbulkan gerakan bawah tanah lain bagi Pemerintah Filipina.
”Tindakan mengerikan dari ’operasi polisi’ ini jelas bertujuan untuk membuat petani, aktivis, dan warga negara biasa asal Negros lainnya meringkuk dalam ketakutan, menyerahkan hak-hak mereka, dan menerima gelombang teror di bawah hukum darurat militer,” demikian pernyataan Aliansi Negros Utara Pembela Hak Asasi Manusia.
Sepuluh pria berseragam secara paksa memasuki rumah mereka sekitar tengah malam dan mengaku membawa surat perintah penangkapan. Selang beberapa saat, orang-orang itu dilaporkan menembak Avelino dan saudara lelakinya, Ismael.
Kelompok itu mengatakan, enam petani terbunuh dan lebih dari 50 orang lainnya ditangkap dalam penggerebekan polisi yang serupa pada bulan Desember di kota Guihulngan di Negros Oriental. Wilayah itu terletak di sebuah pulau pertanian penghasil gula yang telah lama dikenal karena kesenjangan yang menganga antara keluarga pemilik tanah yang miskin dan kaya.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyatakan darurat militer di wilayah selatan negaranya pada 2017 sebagai upaya menahan laju pengepungan oleh kelompok militan. Meskipun Negros Oriental terletak di luar wilayah selatan, yakni sekitar 590 kilometer di selatan Manila, pasukan militer dan aparat kepolisian meningkatkan serangan balasan dalam beberapa tahun terakhir.
Polisi Filipina membantah tuduhan bahwa ke-14 orang yang tewas dalam serangan hari Sabtu adalah korban pembunuhan di luar proses hukum. Selain senjata api tanpa izin, kata Sinas, polisi juga mencari tersangka gerilyawan Tentara Rakyat Baru yang terlibat dalam serangan terhadap kantor polisi kota Canlaon bulan ini dan serangan lain terhadap petugas polisi.
Gerilyawan komunis telah melancarkan pemberontakan perdesaan di Filipina selama setengah abad, salah satu yang terpanjang di Asia. Kekerasan telah menyebabkan sekitar 40.000 kombatan dan warga sipil tewas. Ini juga telah menghambat perkembangan ekonomi, terutama di perdesaan, di mana militer mengatakan bahwa sekitar 3.500 pemberontak masih aktif. (AP/AFP)