Bekas kombatan dan napi terorisme yang tergabung dalam Yayasan Lingkar Perdamaian menggelar deklarasi. Mereka berharap, Pemilu 2019 menghasilkan wakil rakyat dan pimpinan yang menjadikan Indonesia lebih maju, adil makmur, bermartabat, dan berdaulat.
Oleh
Adi Sucipto Kisswara
·3 menit baca
LAMONGAN, KOMPAS — Bekas kombatan dan narapidana terorisme yang tergabung dalam Yayasan Lingkar Perdamaian menggelar deklarasi bertajuk ”Indonesia Damai Tanpa Hoaks dan Ekstremisme” di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Senin (1/4/2019). Mereka berharap, Pemilu 2019 menghasilkan wakil rakyat dan pimpinan yang menjadikan Indonesia lebih maju, adil makmur, bermartabat, dan berdaulat.
Deklarasi itu diikuti 40 orang. Dipimpin Ustaz Ja’far Shodiq, mereka mendukung Pemilu 2019 yang aman dan damai serta menolak segala bentuk hoaks, kekerasan, intoleransi, dan ekstremisme. Mereka juga mendorong pemerintah dan Polri menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban.
Peserta deklarasi juga mengimbau seluruh lapisan masyarakat Indonesia, khususnya di Lamongan, untuk memelihara perdamaian dan persaudaraan dalam bingkai NKRI berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Tujuannya, agar semua warga menjaga keutuhan bangsa dan negara.
Direktur Eksekutif Yayasan Lingkar Perdamaian Ali Fauzi menyebutkan, semua pihak harus jadi penyejuk. ”Jangan jadi pemicu atau trigger (pemantik) konflik. Jadilah pengikut status medsos yang menyejukkan. Kita harus belajar dari negara lain yang porak poranda karena hoaks dan fitnah,” ucapnya.
Ali juga meminta anggotanya agar terus menjadi ”air”, bukan ”api”. Ketika tensi politik memanas, semua pihak harus ikut mendinginkan. Menurut dia, Indonesia bakal damai apabila ada sinergi semua komponen dalam menjaga dan menciptakan perdamaian.
”Beda pilihan jangan sampai picu perpecahan. Siapa pun presidennya, Indonesia diharapkan keluar dari kondisi terpuruk dan menjelma jadi negara maju,” ujar Ali.
Ia menyebutkan, saat ini, ada 40 bekas kombatan yang berhak memilih. Menurut dia, mereka bebas menentukan pilihan tanpa ada arahan khusus. ”Dulu, memang rekan-rekan ini punya rekam jejak kurang menyenangkan, tapi semua bisa berubah. Kini, saatnya jadi bagian manusia yang membangun, bukan merusak. Dalam pilpres yang panas, diharapkan tidak memanasi situasi, tapi jadi penyejuk,” tutur Ali.
Kepala Unit 31 (Terorisme, Radikalisme, Intoleransi) Direktorat Keamanan Negara Bagian Intelijen dan Keamanan Polri Ajun Komisaris Besar Syuhaimi mengatakan, silaturahmi antara polisi dan masyarakat bertujuan menyatukan persepsi terkait situasi kondisi tahun politik.
”Silaturahmi bertujuan menurunkan suhu politik dan memberi angin segar untuk terus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Semoga aspirasi pemilu kali ini sesuai cita-cita bangsa dan negara, dan melahirkan pemimpin terbaik,” katanya.
Dia juga meminta semua pihak mewaspadai kabar bohong. Ia mengimbau masyarakat mengonsumsi informasi dengan cerdas, tak menelan mentah-mentah. Berdasarkan data Polri, pada tahun 2018 tercatat 3.881 kasus ujaran kebencian. Kasus itu terdiri dari penghinaan (1.657 kasus), perbuatan tak menyenangkan (1.824 kasus), dan pencemaran nama baik (400 kasus).
”Media sosial telah dibombardir isu yang bisa memicu perpecahan. Itu harus diimbangi dengan kampanye persaudaraan universal untuk mewujudkan perdamaian abadi,” ujar Syuhaimi.
Camat Solokuro Anton Sudjarwo menyebutkan, situasi wilayahnya yang berpenduduk 38.000 jiwa saat ini kondusif. Ia berharap warga yang punya hak pilih, termasuk bekas napi teroris, menggunakan hak pilihnya.
”Kami berharap situasi aman, damai, dan antihoaks ini berlangsung selamanya,” kata Anton.