Segala peristiwa, meski berulang, tetap bisa dituliskan. Keributan di kantor pemerintahan hingga keseharian seseorang difabel wicara, semuanya dapat diabadikan lewat tulisan. Namun, ada beberapa hal yang harus tetap diperhatikan agar tak ikut serta dalam rangkaian kata itu.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Segala peristiwa, meski berulang, tetap bisa dituliskan. Keributan di kantor pemerintahan hingga keseharian seseorang difabel wicara, semuanya dapat diabadikan untuk kebaikan lewat rangkaian kata. Tanpa fitnah, tetapi memberi jalan keluar untuk masa depan.
”Semua peristiwa bisa ditulis, apa pun itu, asal tidak menjelekkan orang lain, bohong, apalagi memfitnah,” ujar Wakil Redaktur Pelaksana Harian Kompas Try Harijono dalam Kelas Menulis bertema ”Menulis untuk Keabadian” di Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, Pesantren Babakan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Minggu (31/3/2019).
Lebih dari 200 santri hingga mahasiswa memadati masjid pondok berlantai dua, tempat pelatihan menulis. Penyelaras bahasa Kompas, Nur Adji, sastrawan Acep Zam-Zam Noor, dan novelis Fauz Noor turut berbagi ilmu sore itu. Panitia juga menyiarkan secara langsung acara tersebut melalui media sosial Instagram.
Try mencontohkan kisah ayah yang difabel wicara dan difabel rungu dengan anaknya. Meskipun memiliki kekurangan, keseharian ayah dapat dikemas dalam tulisan yang menginspirasi banyak orang. Misalnya, bagaimana ayah banting tulang memenuhi kebutuhan hidup anaknya. Kisah ini bakal sangat berbeda, bahkan menimbulkan amarah, jika yang ditampakkan sekadar kekurangan ayah.
Menjelekkan seseorang atau institusi berbeda dengan kritik. Dalam buku Yuk, Simak Pak Jakob Berujar (2016) karya redaktur senior Ninok Leksono, pendiri Kompas Jakob Oetama berpandangan, ambang penerimaan kritik masyarakat berbeda-beda. Namun, umumnya kritik konstruktif adalah yang lebih diterima.
”Kritik itu tidak mencerca, menjelek-jelekkan, memojokkan, mempermalukan. Kritik harus obyektif, argumentatif, dan memberi jalan keluar,” tulis Ninok.
Selanjutnya, menurut Try, dalam jurnalistik, sebuah tulisan pantang mengandung berita bohong apalagi fitnah. Menulis kebohongan atau hoaks tidak hanya terancam pasal hukum, tetapi juga dapat memecah belah bangsa.
”Tantangan media di seluruh dunia saat ini adalah terbebas dari berita bohong. Media besar adalah yang menjaga kredibilitasnya, tepercaya. Sebaliknya, media yang menyebarkan kabar bohong luntur kehormatannya,” ujarnya.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengidentifikasi, pada Agustus 2018-Februari 2019, sebanyak 771 konten hoaks di dalam jaringan (daring). Sebanyak 181 konten di antaranya terkait dengan isu pemilu.
Kondisi ini mengkhawatirkan karena berdasarkan survei penilaian Programme for International Student Assessment 2015, siswa Indonesia berada di urutan ke-64 dari 72 negara dalam kompetensi literasi (Kompas, 28/3/2019).
”Tugas kita semua untuk mencegah hoaks. Caranya, meningkatkan literasi masyarakat. Jika mendapatkan pesan atau berita yang belum terkonfirmasi kebenarannya, jangan disebarkan. Ingat, saring sebelum sharing (membagikan) informasi,” ujarnya.
Tugas kita semua untuk mencegah hoaks. Caranya, meningkatkan literasi masyarakat. Jika mendapatkan pesan atau berita yang belum terkonfirmasi kebenarannya, jangan disebarkan. Ingat, saring sebelum sharing (membagikan) informasi.
Itu sebabnya, Try mengingatkan agar sebuah tulisan tidak mengandung kebohongan, apalagi fitnah. Ada sejumlah cara tetap menjaga tulisan jauh dari itu semua. Salah satunya, membaca apa saja untuk menambah wawasan. Membaca adalah gerbang menulis. Bagi wartawan, selain membaca, turun ke lapangan bertemu dengan sumber berita adalah hal penting yang terus dijaga.
Sejumlah peserta lalu bertanya tentang trik dan tips agar jago menulis. ”Menulis itu seperti naik sepeda. Tidak ada rumusnya. Coba saja dulu. Tidak boleh putus asa. Menulis tidak hanya untuk keabadian. Menulis juga bisa mendatangkan uang,” kata Try.
Nur Adji menambahkan, dalam menulis, sebagus apa pun ide dan gaya tulisan, jika bahasanya salah, itu dapat berakibat fatal. ”Akibatnya, reputasi seorang penulis berkurang, bahkan tidak lagi dipercaya. Jadi, penulis jangan berasumsi ada bagian lain yang akan membetulkan bahasa dalam tulisannya,” ujar Adji, yang pernah menerima makian dari pembaca karena kesalahan bahasa.
Perwakilan Pondok Kebon Jambu Al-Islamy, Hasan Rohmat, mengapresiasi para narasumber yang telah membagikan ilmu kepenulisan kepada santri. ”Kami ingin para santri menulis sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang,” ujarnya.
Menggetarkan
Sementara itu, Fauz Noor membagikan tips menabung kata untuk membuat tulisan. Ia mencontohkan novelnya, Tapak Sabda. Jumlah halamannya 478 lembar. Diterbitkan tahun 2004, novel itu ditulis selama dua bulan.
”Akan tetapi, bahannya sudah saya tabung sejak di pesantren tahun 1990-an. Mau satu kata, satu kalimat, satu lembar, kalau ada ide tulis saja dulu. Nanti dikumpulkan untuk menjadi tulisan panjang bahkan novel,” ujar Fauz, yang banyak menulis novel tentang pengalamannya di pesantren.
”Lalu, dari mana sebuah ide tulisan muncul? Kalau berasal dari imajinasi, bagaimana caranya mendapatkannya?” tanya seorang peserta penasaran kepada Fauz. Sambil tersenyum, dosen Filsafat Sekolah Tinggi Agama Islam Tasikmalaya itu membagikan sebuah anekdot.
”Pekerjaan yang paling mudah itu novelis. Kerjaannya melamun. Orang yang tidak bisa melamun, dia kehilangan harta berharga. Tinggal, bagaimana lamunan itu dituliskan dalam sebuah cerita,” ujar penulis buku Ketika Rasul Bermuka Masam tentang pandangan Islam pada difabel tersebut.
Bagi Acep, bahasa dalam tulisan seperti senjata. Sama pentingnya kuas bagi pelukis. Jika salah menggunakan bahasa, artinya penulis gagal memanfaatkan senjatanya.
Meskipun penulisan puisi dan cerpen lebih luwes dibandingkan dengan artikel di media massa, menurut Acep, keduanya memiliki kesamaan, yaitu kejujuran. Penulis cerpen, misalnya, menciptakan tokoh fiktif dalam tulisannya. Namun, dalam bayangan penulisnya, tokoh itu benarnya adanya.
”Saya percaya, tulisan baik adalah yang dibuat dengan hati dan kejujuran. Kita menyerahkan diri ke dalam kata-kata, hanyut bersamanya,” ujar penulis buku Menjadi Penyair Lagi… tersebut. Menulis dengan hati, kata Acep, dapat diraih lewat kesabaran dan konsistensi.
Seorang peserta kemudian bertanya tentang tolok ukur puisi yang bagus. Menurut Acep, ukuran puisi yang baik adalah ketika pembaca merasa berkomunikasi dengan puisi itu. Artinya, pengalaman penulis juga dirasakan pembaca. Itu sebabnya, Acep membubuhkan teori bulu kuduk dalam setiap karyanya.
”Kalau bulu kuduk pembaca berdiri saat membaca puisi kita, artinya puisi itu bagus,” ujarnya.
Di pengujung acara, Acep membacakan penggalan karyanya berjudul Puisiku yang dibuat tahun 2009.
Puisiku kadang luput menyalami pedagang asongan, penambal ban, atau pemulung barang bekas. Bahkan, puisiku tidak pernah menemani buruh tani menebus obat di apotek atau mendampingi kuli bangunan melunasi tagihan rumah sakit.
Puisiku seperti juga partai politik, sering malas bertanya kenapa masih banyak rakyat yang kesusahan. Kenapa harga-harga terus dilambungkan. Kenapa minyak tanah jadi barang langka? Kenapa harus mengimpor beras dari negara tetangga. Kenapa sawah-sawah malah dijadikan pabrik? Kenapa hutan-hutan yang dibakar tak kunjung dipadamkan? Dan semburan lumpur panas kian berkobar.
Puisiku seperti juga pemilu. Tentu saja bukan jawaban…