Pembungkaman Persma Didominasi oleh Birokrasi Kampus
Pers mahasiswa bukanlah humas kampus. Pers mahasiswa melakukan kerja-kerja jurnalistik seperti halnya pers pada umumnya.
JAKARTA, KOMPAS — Kasus pemberhentian pengurus Lembaga Pers Mahasiswa Suara Universitas Sumatera Utara oleh Rektorat USU memperpanjang rentetan kasus pembungkaman pers mahasiswa di Indonesia. Seperti yang terjadi di USU, pembungkaman terhadap pers mahasiswa paling banyak dilakukan justru oleh birokrasi kampus.
Berdasarkan hasil riset yang digelar Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) pada 2013-2016 terdapat 88 kasus pembungkaman pers mahasiswa (persma) yang terjadi di 16 provinsi. Pembungkaman persma tersebut dilakukan dengan berbagai macam cara, mulai dari mengancam penggantian pengurus, melalui audiensi dengan rektor, mengganti pengurus, mencabut surat keputusan (SK), menyegel sekretariat, merampas inventaris, mengeluarkan SK drop out, menghentikan akses dana kampus, hingga tidak memberikan fasilitas.
“Dari total 133 oknum atau pelaku pembungkaman persma, 65 pelaku di antaranya justru pihak birokrasi kampus, antara lain dengan melakukan intimidasi, perampasan media, hingga penyegelan sekretariat,” kata Ketu Forum Alumni Aktivis (FAA) PPMI, Agung Sedayu, Minggu (31/3/2019), dalam Diskusi Publik “Mengapa Rektor Takut Cerpen” yang digelar FAA PPMI di Jakarta. Hadir pula sebagai pembicara dalam diskusi ini Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen Revolusi Riza, Pengacara Publik Lembaga Bantuan Pers Gading Yonggar Ditya, dan alumnus USU Debora Sinambela.
Dari total 133 oknum atau pelaku pembungkaman persma, 65 pelaku di antaranya justru pihak birokrasi kampus
Jika ditarik ke belakang, pada 2014 kasus pembungkaman persma terjadi pula di Yogyakarta saat pihak Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) merampas dan melarang peredaran Buletin Expedisi, sebuah media yang diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi. Pada waktu itu, pihak UNY tidak setuju dengan isi pemberitaan yang mengkritisi orientasi studi dan pengenalan kampus atau ospek.
Pada 2015, di Salatiga, polisi dan Universitas Kristen Satya Wacana melarang dan menarik Majalah Lentera yang merupakan produk LPM Lentera. Penyebabnya, media ini menulis tentang sejarah peristiwa 1965 di Salatiga.
Pada 2016, LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta juga dibekukan karena mengkritik pembangunan Fakultas Kedokteran di kampus tersebut. Di tahun yang sama, LPM Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa juga dibekukan karena menerbitkan berita yang mengkritisi kampus.
Terkait pemberhentian 18 pengurus LPM Suara USU pada 25 Maret 2019 oleh Rektorat USU, Agung mempertanyakan apakah benar pencabutan kepengurusan tersebut semata-mata karena sebuah cerpen yang diunggah Suara USU di situs mereka Suarausu.co. Menurut Agung, tulisan cerpen itu sama sekali tidak ada yang perlu dirisaukan, isinya sopan, dan tidak mengandung unsur pornografi atau mendukung LGBT sekalipun.
“Berdasarkan informasi yang kami kumpulkan, pada 2017 pihak USU pernah mempersoalkan pemberitaan Suara USU mengenai pemukulan satpam kampus terhadap mahasiswa yang kemudian berujung pada kampus mempersulit pendanaan untuk Suara USU. Pada 2018, berita Suara USU juga sempat dipersoalkan oleh rektorat karena mengkritisi proses akreditasi kampus. Seperti yang terjadi di universitas-universitas lainnya, ada pemahaman yang salah tentang peran persma yang sering dianggap sebagai humas kampus. Padahal, persma bukanlah humas kampus. Mereka melakukan kerja-kerja jurnalistik seperti halnya pers pada umumnya,” paparnya.
Langgar konstitusi
Kasus pembungkaman persma yang terjadi di USU dan banyak universitas lainnya merupakan bentuk nyata pelanggaran konstitusi. Menurut Agung, Pasal 28 C UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Selain itu, Pasal 28 F UUD 1945 juga menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
“Persma seperti anak tiri di dunia jurnalistik. Mereka melakukan kerja-kerja jurnalistik tetapi tidak pernah mendapatkan pembelaan dan perlindungan. Ke depan, kita bersama memiliki tanggungjawab membantu memperbaiki kualitas produk-produk jurnalistik persma. Jangan sampai secara hukum mereka lemah dan secara produk jurnalistik juga lemah. Penulisan konten-konten mereka perlu diperkuat dan diperdalam,” tambah Agung.
Persma seperti anak tiri di dunia jurnalistik. Mereka melakukan kerja-kerja jurnalistik tetapi tidak pernah mendapatkan pembelaan dan perlindungan.
Revo mengungkapkan, dalam Kongres Ke-10 AJI di Solo, November 2017, AJI secara tegas menerima persma untuk bisa bergabung dalam asosiasi. Artinya, dalam kongres tersebut AJI menerima persma sebagai bagian dari pers Indonesia. Sebelumnya AJI telah juga telah menerima blogger dan jurnalis warga untuk bisa bergabung sebagai anggota.
“Salah satu alasan yang mengemuka pada saat kongres adalah begitu banyak kasus pembungkaman-pembungkaman terhadap persma terjadi di Indonesia. Siapa yang akan membela mereka kalau mereka tidak diakui keberadaannya? Mereka juga melakukan proses-proses kerja jurnalistik seperti pers pada umumnya, hanya ruang lingkup mereka saja yang lebih sempit di sekitar sivitas akademika,” ucapnya.
Revo menilai, Rektorat USU melakukan penyalahgunaan wewenang dengan memberhentikan 18 pengurus Suara USU. Selain itu, pernyataan yang menyebut persma bukan bagian dari pers tidak masuk akal.
Menurut Revo, persma termasuk dalam kuadran kedua yang merupakan pengelompokan media yang tidak terverifikasi di Dewan Pers, tetapi isi beritanya memenuhi standar jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik. Oleh karena itu, jika terjadi kasus sengketa pemberitaan, semestinya bisa diselesaikan pula di Dewan Pers sebagai pihak yang memiliki kewenangan dalam menilai produk-produk jurnalistik.
Persma termasuk dalam kuadran kedua yang merupakan pengelompokan media yang tidak terverifikasi di Dewan Pers, tetapi isi beritanya memenuhi standar jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik.
Gading menambahkan, penerbitan SK pemberhentian 18 pengurus Suara USU oleh Rektorat USU tidak masuk akal karena sejak awal kepengurusan di Suara USU ditetapkan oleh kebijakan internal Suara USU dan rektor hanya menetapkan kemudian memberikan pendanaan dari uang universitas.
Dia mengatakan, Rektorat USU telah melampaui batas kewenangannya. "Sikap kesewenang-wenangan ini juga melanggar prinsip-prinsip dasar pendidikan yang seharusnya diselenggarakan atas prinsip demokrasi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia,” paparnya.