Perhutanan sosial dinilai memberikan dampak ekonomi positif bagi masyarakat setempat. Sejumlah komoditas unggulan terbukti dapat dikembangkan di dalam kawasan perhutanan sosial sehingga memberdayakan masyarakat.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Perhutanan sosial dinilai memberikan dampak ekonomi positif bagi masyarakat setempat. Sejumlah komoditas unggulan terbukti dapat dikembangkan di dalam kawasan perhutanan sosial sehingga memberdayakan masyarakat. Pendampingan dari pemerintah dan pihak terkait perlu terus dilakukan agar pengelolaan hutan berkelanjutan dan terus memberikan manfaat bagi masyarakat.
Hal itu terungkap dalam Sarasehan Masyarakat Perhutanan Sosial dan Rapat Koordinasi Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Sumatera Selatan di Palembang, Sumatera Selatan, Senin (1/4/2019). Sejumlah produk dari kawasan hutan sosial di Sumsel dipamerkan, seperti kopi dari kawasan Semendo, Kabupaten Muara Enim, dan Kota Pagar Alam, serta madu hutan dari Kabupaten Musi Rawas.
Aidil Fikri, pendamping pengelolaan Hutan Desa Cahaya Alam, Kecamatan Semendo Darat Ulu, Muara Enim, memajang hasil kopi dari desa dampingannya. Fikri merupakan pendamping dari lembaga Hutan Kita Institute (HaKI). Adapun produk yang dipasarkan berupa kemasan berisi biji kopi (roast bean) dan kopi bubuk. Produk tersebut dijual Rp 100.000-Rp 200.000 per kilogram (kg) untuk kopi robusta dan Rp 350.000 per kg untuk kopi arabika.
Hutan di desa Cahaya Alam ditetapkan sebagai hutan desa pada 2015. Izin hutan desa yang diterbitkan seluas 900 hektar. Ada sekitar 1.300 keluarga yang menggantungkan kehidupan dari hutan desa ini. Sebagian warga bekerja sebagai petani kopi, sebagian juga menanam padi dan sejumlah komoditas sayur-mayur.
”Warga bisa mengelola hutan desa tanpa rasa takut lagi karena mereka sudah dianggap legal,” ungkap Fikri.
Perubahan status menjadi hutan sosial itu langsung berdampak positif bagi petani. Salah satunya adalah meningkatkan harga jual kopi. Sebelum ditetapkan sebagai perhutanan sosial, harga biji kopi di tingkat petani hanya Rp 18.000-23.000 per kg, baik robusta maupun arabika. Saat ini, harga kopi robusta di tingkat petani sekitar Rp 40.000 per kg, sementara untuk arabika dihargai Rp 70.000-Rp 100.000 per kg.
Kenaikan harga ini disebabkan kopi yang dihasilkan petani berasal dari tempat yang legal sehingga pasar mau menerimanya. Sebelumnya, pasar tidak mau menerima produk mereka karena tindakan mereka dianggap tidak legal sehingga kopi dari kawasan ini dihargai rendah.
Kenaikan harga juga disebabkan perubahan budaya petani dalam menanam kopi sehingga meningkatkan kualitas produk. Semula, petani memetik biji kopi dengan skema asalan, tapi kini berubah menjadi petik merah. Penjemuran biji kopi juga tidak lagi dilakukan di jalanan, tetapi dengan menggunakan terpal. Petani pun tidak lagi menggunakan bahan kimia dalam perawatan tanaman, tetapi menggunakan pupuk organik.
Berkat hal-hal tersebut, lanjut Fikri, biji kopi hasil produksi petani hutan Desa Cahaya Alam kini sudah dipasarkan ke beberapa daerah, seperti Jakarta, Bandung, Bali, dan Kalimantan. Kopi juga diekspor ke Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Eropa, meski volumenya belum banyak.
Fikri menambahkan, pihaknya akan melakukan pendampingan lanjutan bagi petani untuk membuat Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan Rencana Kerja Usaha (RKU). Hal itu untuk memetakan komoditas, apa lagi yang bisa ditanam di lokasi perhutanan sosial, termasuk potensi ekonominya.
Peningkatan perekonomian dari perhutanan sosial juga dirasakan oleh Boedi (43), petani dari Desa Gunung Agung, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Di kawasan yang terletak di kaki Gunung Dempo ini, terdapat sekitar 440 hektar hutan kemasyarakatan. Petani menanam komoditas seperti nangka, durian, kopi, dan alpukat. Komoditas ini dipilih karena sesuai dengan kondisi desa yang berada di ketinggian 1.400 meter dari permukaan laut.
Boedi mengatakan, melalui perhutanan sosial, masyarakat memiliki tanggung jawab untuk menjaga hutan agar tidak rusak, termasuk kawasan lindung yang berada di sebelah hutan kemasyarakatan. ”Kami bertanggung jawab untuk menjaga hutan yang kami kelola,” ungkapnya.
”Sebelum tahun 2018, kami menanam kayu manis, tapi gagal karena tanamannya mati. Kini, kami mengganti dengan menanam nangka, alpukat, kopi, dan durian. Namun, sebelum berbuah, kami menanam sejumlah tanaman sayuran,” katanya.
Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Erna Rosdiana mengatakan, keberadaan perhutanan sosial diharapkan mampu memberikan dampak ekonomi dan mengurangi konflik pada warga yang tinggal di kawasan hutan. Untuk itu, setelah izin diterbitkan, perlu pendampingan dari pemerintah daerah dan pihak terkait kepada masyarakat dalam mengelola hutan.
Pendampingan yang dimaksud adalah terkait pembuatan RKU dan RKT untuk mengetahui potensi ekonomi di kawasan tersebut. ”Hal ini penting agar masyarakat yang mengelola hutan di kawasan perhutanan sosial dapat lebih mudah menerima bantuan, baik dari perbankan, pemerintah, maupun pihak terkait lainnya,” kata Erna.
Erna menjelaskan, sampai saat ini, sudah diterbitkan izin perhutanan sosial untuk 2,6 juta hektar lahan dari potensi hutan sosial berdasarkan peta indikatif dan areal perhutanan sosial (PIAPS) sebesar 13,8 juta hektar. ”Jumlah ini meningkat dibandingkan PIAPS sebelumnya, yakni 12,7 juta hektar,” katanya.
Dari jumlah tersebut, di Sumsel telah diterbitkan 93 izin dengan luas 98.947 hektar bagi 14.511 kepala keluarga yang tinggal di sekitar kawasan itu. ”Untuk luas perhutanan sosial, Sumsel hanya lebih kecil dibandingkan Kalimantan Barat dan Sumatera Barat,” kata Erna.
Wakil Gubernur Sumsel Mawardi Yahya berharap petani tidak hanya mengikuti tren komoditas, tetapi harus menanam komoditas yang cocok di wilayahnya. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun demplot (lahan percontohan). ”Dengan begitu, akan terbentuk beberapa sentra produksi komoditas di kawasan hutan,” katanya.
Dari hasil penelitian, beberapa tanaman yang bisa dibudidayakan di hutan adalah aren, cengkeh, pala, cempedak, jelutung, dan jengkol. Selain itu, kata Mawardi, perlu ada koordinasi yang lebih baik sehingga petani di kawasan hutan bisa mendapatkan bantuan, termasuk bibit.
”Kami berharap keberadaan perhutanan sosial dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi kemiskinan di Sumsel,” kata Mawardi.