Sistem Pengangkatan Rektor di PTN Keagamaan Dinilai Tidak Demokratis
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Menteri Agama Nomor 68 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dinilai tidak sesuai dengan asas demokrasi yang semestinya diusung oleh perguruan tinggi negeri keagamaan karena pemilihan rektor sepenuhnya ada di tangan Menteri Agama. Diperlukan pendekatan yang lebih variatif dan terbuka dalam seleksi pemimpin perguruan tinggi berdasarkan klaster kemampuannya.
"Harus diingat bahwa pemangku kepentingan pendidikan tinggi dan perguruan tinggi negeri (PTN) adalah sivitas akademika, masyarakat, dan negara," kata Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat di Jakarta, Senin (1/4/2019). Dalam pengelolaan PTN, yang paling mengetahui kebutuhan sesuai visi dan misi adalah PTN itu sendiri.
Harus diingat bahwa pemangku kepentingan pendidikan tinggi dan perguruan tinggi negeri (PTN) adalah sivitas akademika, masyarakat, dan negara.
Hal ini sesuai dengan PTN sebagai inspirasi masyarakat. Dalam pemerintahan yang demokratis, PTN seyogianya turut menerapkan asas ini dalam pemilihan pemimpinnya. Artinya, setiap tahap proses penentuan calon hingga pemilihan bersifat transparan dan terbuka kepada informasi yang diberikan oleh publik guna menjamin kompetensi para calon rektor. Kriteria kemampuan harus profesional, tidak cuma berlandaskan lama masa kerja dan golongan.
Sementara itu dalam Permenag 68/2015 diatur bahwa senat PTN keagamaan melalui rapat tertutup menyeleksi maksimal tiga nama calon rektor untuk diajukan ke Kemenag. Menag kemudian membentuk panitia seleksi yang melakukan verifikasi kompetensi para calon sebelum Menag memutuskan nama yang terpilih.
Rawan campur tangan parpol
Komaruddin menjelaskan, mengingat posisi menteri banyak dari partai politik (parpol) atau pun organisasi masyarakat (ormas), sistem ini rawan bercampur dengan kepentingan kelompok pendukungnya. Akibatnya, pemilihan nama-nama yang direkomendasikan berisiko dilatarbelakangi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Mengingat posisi menteri banyak dari partai politik atau pun organisasi masyarakat, sistem ini rawan bercampur dengan kepentingan kelompok pendukungnya.
"Parpol dan ormas memang semestinya mengirimkan kandidat mereka yang paling mumpuni untuk mengikuti seleksi, tetapi para kandidat harus berkompetisi secara adil dan terbuka mulai dari proses seleksi di kampus hingga pemilihannya menjadi rektor," tuturnya.
Komaruddin menjelaskan, belum semua PTN keagamaan memiliki mutu merata. Namun, metode pemilihan rektor bisa disesuaikan dengan peta kualifikasi PTN. Contohnya adalah PT yang sudah mapan dan berakreditasi A memiliki otonomi memilih sendiri rektornya. Pemerintah membuatkan aturan mengenai keadilan, keterbukaan, dan ketertiban proses pemilihan rektor agar tidak ricuh. Dalam hal ini, budaya akademik harus diperkuat sehingga pemilihan rektor tidak dipandang seperti kegiatan politik praktis.
Bagi PTN yang masih berkembang, suara pemilihan bisa dibagi 50:50 antara senat dengan Menag. Bahkan, untuk PTN yang baru dibuka dan masih membangun sistemnya, rektor boleh ditentukan oleh Menag selama proses penentuan dan latar belakang kompetensi para calon bersifat pemaparan terbuka.
Dikaji
Pada 28 Maret 2019, DPR melalui Komisi VIII meminta Kemenag mencabut Permenag 68/2015. Akan tetapi, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin yang dikontak pada hari Senin (1/4/2019) mengatakan pihaknya masih menganalisa poin-poin yang kemungkinan bisa dibenahi.
Sementara itu, Menag Lukman Hakim Saefuddin pada Rapat Koordinasi Nasional Kebijakan Pengawasan Kemenag menuturkan bahwa sistem di kementerian itu selama dua tahun berturut-turut mendapat predikat wajar tanpa pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan. Akuntabilitas kementerian itu pada tahun 2018 mendapat nilai 70,12. Naik dibandingkan tahun 2014 yang nilainya 60,53.
Dari aspek reformasi birokrasi juga meningkat pada tahun 2018 menjadi 74,02. Padahal, tahun 2015 angkanya masih 62. "Peristiwa tanggal 15 Maret (penangkapan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuziy sebagai tersangka terkait kasus dugaan korupsi dalam seleksi jabatan di Kementerian Agama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi) adalah pelajaran keras bagi Kemenag karena perbuatan segelintir orang merusak citra semua anggota Kemenag. Akan tetapi, kita harus gigih untuk menjadi lebih baik karena hasil kinerja menunjukkan kita sudah ada di jalur yang benar," ujar Lukman.