Harapan Baru bagi Muda-mudi di Desa
Puluhan muda-mudi jebolan sekolah menengah pertama dan atas,berkutat di ruang pelatihan yang sesak dengan mesin jahit, obras, hingga tali meteran. Mereka menjemput asa menjadi tenaga kerja pabrik garmen demi penghidupan lebih baik.
Puluhan muda-mudi jebolan sekolah menengah pertama dan atas berkutat di ruang pelatihan yang sesak dengan mesin jahit, mesin obras, hingga tali meteran. Mereka menjemput asa menjadi tenaga kerja pabrik garmen demi penghidupan lebih baik.
Di satu sudut Balai Industri Pabrik Tekstil dan Alas Kaki (BIPTAK) Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang, Senin (18/2/2019), paras Sudarti (37) serius mengikuti arahan mentor di setiap sesi. Mulai dari membuat pola pakaian, menjahit rapi, hingga menguasai mesin obras.
”Sebelumnya, saya cukup lama bekerja di pabrik pengolahan kayu lapis. Saya enggak kuat, tidak tahan debunya. Saya dengar bekerja di pabrik garmen upahnya lumayan dan ruang kerjanya bersih. Saya disarankan ikut pelatihan ini,” ujar Sudarti asal Kaliwungu, Kabupaten Kendal.
Peserta lain, Nurislah (17), asal Welahan, Kabupaten Jepara, mengikuti pelatihan menjahit untuk mencoba keluar dari ”pakem” generasi pengukir. Meski lahir di sentra kerajinan kayu, tiga tahun terakhir profesi pengukir tak lagi menarik kaum muda di kampungnya. Banyak yang mulai beralih menjadi pekerja garmen. Hal itu terlebih disebabkan beberapa tahun terakhir sejumlah industri garmen, tas, dan sepatu skala besar mulai berinvestasi di Jepara.
Siang itu, Nurislah tengah berlatih menjahit lingkaran dengan mesin jahit modern. Pekan pertama, jahitannya kerap keluar dari garis penuntun. Kini, setelah lebih dari dua pekan, dia mengaku lebih mahir. Keahlian menjahit lingkaran menjadi syarat agar bisa menghasilkan cup produk BH yang rapi.
Di antara raung suara mesin obras dan jahit, Elis Sugi (20), perempuan mungil asal Lampung, tak kalah cerewet mengoreksi hasil jahitan para peserta pelatihan. Elis yang sudah setahun bekerja di sebuah pabrik garmen di kawasan Penggaron, Semarang bagian timur, ditugasi menjadi mentor pelatihan sekaligus menyaring para calon pekerja di pabriknya.
”Saya menunjukkan pola jahitan yang rapi, juga menilai hasil karya mereka. Pabrik minta mereka siap kerja, bisa menguasai mesin supaya roda produksi terus mengalir,” ujar Elis.
Meskipun dari latar belakang berbeda, para kaum muda ini masuk pelatihan di BIPTAK dengan semangat yang sama, yaitu bekerja di industri tektil dan alas kaki. Dua jenis industri ini beberapa tahun terakhir banyak merelokasi pabrik ke wilayah Jateng yang tentunya membuka lapangan-lapangan kerja baru.
Pilihan kerja
Bekerja dengan upah pasti, seperti menjadi karyawan pabrik, belakangan menjadi pilihan menarik bagi kaum muda pedesaan di Jateng. Maraknya investasi membuka pilihan bagi mereka selain menjadi petani, tukang bangunan, atau menekuni profesi turun-temurun seperti pengukir di daerah Jepara.
Setidaknya hal itu diakui oleh Sunarko (20), peserta asal Ngaringan, daerah sentra jagung dan padi di Kabupaten Grobogan. Sebelum ikut pelatihan, dia menggarap sawah hingga menjadi tukang bangunan.
”Saya termuda yang menggarap sawah. Pemuda seusia saya makin sedikit yang mau bertani. Upahnya minim, hanya Rp 100.000 per hari untuk kerja dua bulan. Jadi tukang bangunan upahnya sama, tetapi bebannya lebih berat. Jika kerja di pabrik, sebulan minimal dapat Rp 1,7 juta, sesuai upah minimum,” tutur Sunarko.
Saya termuda yang menggarap sawah. Pemuda seusia saya makin sedikit yang mau bertani. Upahnya minim, hanya Rp 100.000 per hari untuk kerja dua bulan.
Semangat Sunarko mengikuti pelatihan karena tiga tahun terakhir telah beroperasi pabrik tas dan sepatu di wilayah Wirosari, sekitar 18 kilometer arah timur Ngaringan. Dengan jujur, dia mengaku selepas lulus pelatihan ingin bekerja di pabrik tersebut. Beberapa rekannya yang sudah bekerja di pabrik tersebut menguasai keahlian mengoperasikan mesin jahit.
”Dengan bekerja di pabrik, kurang tiga bulan saja, saya sudah bisa membeli sepeda motor matik. Bagi orang desa seperti saya, membeli kendaraan baru sangat sulit jika tetap berkutat di sawah,” ujarnya.
Selama ikut program pelatihan, anak-anak muda ini tidur di asrama di lingkungan BIPTAK. Setiap kamar bisa menampung 6-8 orang. Asrama putri dan putra terpisah. Para peserta pelatihan ini adalah angkatan kedua. Pada angkatan pertama, Januari lalu, sebanyak 115 orang dinyatakan lulus dan hampir 100 persen diterima di sejumlah pabrik garmen.
Menurut Kepala BIPTAK Sigit Adi Brata, para peserta pelatihan yang hendak bekerja di pabrik tidak dipungut biaya. Mereka bisa mengakses pelatihan dengan biaya pemerintah daerah ataupun Kementerian Perindustrian dan Perdagangan. Pihak balai juga menjalin kerja sama dengan perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja. Dalam skema ini, perusahaan biasanya membiayai pelatihan sekaligus menyerap para lulusan.
Namun, ada juga peserta yang membiayai pelatihan secara mandiri. Mereka biasanya hendak membuka usaha sendiri di sektor konfeksi atau menggunakan sertifikat pelatihan untuk melamar kerja.
Menurut Sigit, tugas BIPTAK adalah mendidik calon pekerja semakin terampil sehingga siap bekerja di pabrik. Sejak 2010, balai ini termasuk pemasok kebutuhan tenaga kerja industri garmen besar. Masa jaya balai pelatihan ketika gelombang pertama relokasi industri garmen dan produk tekstil di sejumlah daerah di Jateng periode 2012-2015. Dalam setahun, BIPTAK meluluskan calon pekerja 3.000-5.000 orang.
Jumlah tersebut sebenarnya masih kurang dibandingkan dengan permintaan tenaga kerja terampil kala itu yang bisa mencapai 25.000 orang per semester. Bahkan, Sigit berujar, besarnya permintaan membuat anak-anak putus sekolah di tingkat sekolah dasar pun boleh ikut pelatihan. Pada 2018, balai meluluskan sekitar 1.040 orang dan pada 2019 ditargetkan meluluskan 1.830 orang.
Ubah budaya
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Jepara Ahmad Junaidi menuturkan, pihaknya memahami gencarnya investasi baru di daerah telah mengubah budaya kerja pertanian ke industri. Kaum muda memilih bekerja dengan dasar keterampilan ketimbang bekerja di lahan pertanian. Hal ini juga dipicu kebutuhan yang begitu besar akan tenaga kerja oleh investor baru di daerah.
Di Jepara saja, misalnya, sepanjang 2018 realisasi penanaman modal baru, mulai dari yang kecil, sedang, hingga besar, mencapai 252 macam investasi. Penyerapan tenaga kerja semakin besar. Hal itu terlebih kemunculan sebuah pabrik selalu disertai pabrik turunannya. Pabrik sepatu, misalnya, akan selalu diikuti munculnya pabrik lem dan sol sepatu.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menegaskan, kebijakan pro investasi telah menjadikan Jateng primadona bagi para investor. Hal ini setidaknya terlihat dari relokasi 47 pabrik tekstil pada 2015 dengan serapan tenaga kerja hingga 70.000 orang.
Pada 2018, realisasi investasi di Jateng senilai Rp 59,3 triliun. Rinciannya, 2.273 proyek investasi dalam negeri senilai Rp 27,47 triliun dengan serapan 52.321 tenaga kerja lokal. Adapun investasi asing senilai Rp 31,79 triliun, terdiri dari 1.380 proyek yang menyerap 59.495 tenaga kerja lokal. Lokasi sasaran di antaranya Kabupaten Jepara, Cilacap, Sragen, Batang, Brebes, dan Sukoharjo.
Tak heran, pabrik-pabrik yang tumbuh di daerah kecil ibarat terang sinar bagi kumpulan laron. Kemunculannya menjadi harapan baru bagi orang-orang muda di desa.