Revolusi digital menyebarkan informasi lebih cepat, termasuk kabar bohong. Disiplin dalam melakukan verifikasi jadi benteng penangkal tsunami hoaks yang setiap hari berseliweran. Dibutuhkan orang atau kelompok yang berjuang untuk itu.
Ratusan tanda tangan tertera pada spanduk putih bertuliskan ”Stop Hoax”. Kumpulan tanda tangan itu simbol keberanian warga dalam deklarasi ”Bandung Anti-Hoaks” di Kota Bandung, Jawa Barat, Minggu (31/3/2019).Deklarasi diinisiasi Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo). Mereka mengedukasi warga yang menikmati pagi di ”Kota Kembang” saat hari bebas kendaraan bermotor di Jalan Ir Djuanda.
Devi (24), warga Andir, Kota Bandung, turut tanda tangan. Sebagai pengguna aktif media sosial Facebook dan Instagram, Devi terpapar puluhan informasi setiap hari, baik berbentuk narasi maupun gambar. Itu belum ditambah pesan berantai dan informasi pada belasan grup Whatsapp yang diikutinya.
Informasi itu kebanyakan bermuatan politik, di antaranya terkait isu surat suara tercoblos. ”Informasi itu terus disebar. Padahal, sumbernya tidak jelas. Saya sering menunggu cari tahu kebenarannya lewat portal berita tepercaya,” ujarnya.
Akan tetapi, Devi tak bisa memaksa orang-orang di sekitarnya untuk tak menyebarkan informasi itu. Apalagi, sebagian temannya sudah memantapkan pilihan politik. ”Akhirnya, mereka hanya percaya informasi yang mendukung pilihan politiknya. Benar atau tidak bukan lagi hal utama,” ujarnya.
Semangatnya muncul lagi saat dirinya dan warga dapat tips mengidentifikasi hoaks dalam deklarasi itu. Judul bombastis dan tidak menyertakan sumber kredibel patut dicurigai.
Mereka diingatkan untuk selalu memverifikasi informasi sebelum disebarkan. ”Biasakan saring sebelum sharing. Ini penting agar tidak ikut menyebarkan informasi yang masih diragukan,” ujar Pelaksana Harian Koordinator Mafindo Bandung Raya Hadi Purnama.
Penyebaran hoaks bermuatan politik kian masif menjelang pemilu, 17 April 2019. Dampaknya memicu konflik karena beda pilihan politik.
Berdasarkan data penelitian dan pengembangan Mafindo, ada 997 hoaks sepanjang 2018 yang 49 persennya politis. Hoaks lain terkait lembaga pemerintahan, bencana, dan kesehatan. Berita tak lagi sekadar menyampaikan peristiwa, tetapi juga untuk tujuan tertentu, termasuk politis. Hoaks jadi peluru tajam berbahaya.
Gaya tebar kabar bohong telah muncul di era propaganda Nazi pada 1930-an. Jika dulu lewat teknologi anyar radio dan film, kini media sosial jadi sarananya. Modusnya mirip, seperti sumber tak pasti, menyederhanakan masalah dengan bahasa rumit, hingga tak membuka ruang diskusi. Diam, melarang, atau membalas tidak akan menjernihkan situasi.
Bergerak aktif
Menyadari ancaman hoaks kian nyata menjelang pesta demokrasi, Mafindo mengenalkan aplikasi hoax buster tools. Publik dapat melaporkan hoaks dan mengecek narasi atau foto yang diragukan kebenarannya. Aplikasi dapat diunduh secara gratis di telepon pintar.
Kesadaran verifikasi sebagai benteng penangkal hoaks juga dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Kemkominfo membuka kanal pengaduan konten melalui surat elektronik aduankonten@kominfo.go.id.
Sejak Agustus 2018 hingga Maret 2019, Kemkominfo mengidentifikasi 1.224 hoaks, yang 26 persennya bermuatan politik. Tren hoaks makin meningkat menjelang pemilu.
Bulan Januari teridentifikasi 175 hoaks, Februari 353, dan Maret 453. Dari 453 hoaks pada Maret 2019, sebanyak 130 hoaks atau sekitar 28 persennya bermuatan politik. Kabar bohong itu menyerang pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik, dan penyelenggara pemilu.
Masifnya peredaran hoaks juga membuat Pemprov Jawa Barat membentuk Jabar Saber Hoaks, 7 Desember 2018. Tim ini menekan peredaran informasi bohong dengan menjadi media klarifikasi dan meningkatkan literasi masyarakat.
Kepala Divisi Klarifikasi dan Diseminasi Jabar Saber Hoaks Alfianto Yustinova mengatakan, pada Desember 2018, pihaknya mengidentifikasi 49 hoaks dengan 16 persennya terkait politik. Sebulan kemudian jadi 25 persen. ”Maret mencapai 51 persen dari 127 berita bohong. Kepedulian memverifikasi informasi sangat penting,” ujarnya.
Jabar Saber Hoaks dimanfaatkan warga untuk menguji kebenaran informasi. Yusuf Triyono (33), misalnya, enam kali melaporkan kabar bohong. Beberapa aduannya terkait kampanye hitam pada kedua capres. ”Setelah dicek, ternyata salah. Padahal, sudah menyebar,” ujar warga Bandung, itu.
Disiplin mengecek kebenaran informasi adalah cerdas. Sebaliknya, berdiam diri—apalagi asal membagikan kabar di tengah gempuran kabar bohong—tidaklah bijak. Seperti dikatakan ahli hukum Amerika Serikat, William O Douglas (1898-1980), ”Cara melawan ide-ide menyesatkan adalah menggunakan ide-ide lain. Cara memerangi kebohongan adalah dengan kebenaran.” Mari kalahkan kabar bohong.