Berharap Industri Mebel dan Kerajinan Menjadi Lima Besar Dunia
Oleh
Banu Astono
·4 menit baca
Kinerja ekonomi Indonesia berpotensi meningkat jika pemerintah mampu menekan defisit neraca perdagangan sektor nonmigas. Upaya ini tidak mudah. Namun, jika mampu merumuskan kebijakan yang sinergis di berbagai sektor strategis akan menjadi fundamental yang kuat menghadapi berbagai tantangan dalam situasi ekonomi global yang tidak menentu.
Soliditas kebijakan antara Bank Indonesia, pemerintah, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi kunci prioritas yang tidak bisa ditawar. Dengan demikian, sektor nonmigas, khususnya industri yang berbasis bahan baku lokal, memiliki energi tambahan untuk meningkatkan kinerjanya.
Hal ini berpeluang menghasilkan produk manufaktur yang mumpuni untuk mengatasi membanjirnya produk impor di pasar domestik, sekaligus menjadi substitusi kebutuhan produk di dalam negeri. Dampak positifnya tidak hanya akan berhenti sampai di situ, kinerja industri manufaktur nasional yang meningkat dan efisien dengan sendirinya akan menghasilkan produk berkualitas. Hal ini akan menghasilkan produk bernilai tinggi dan kompetitif di pasar ekspor.
Selain itu, dengan soliditas kebijakan yang sinergis, akan membuat sektor atau pelaku industri manufaktur nasional mampu mengatasi tekanan kuat di pasar global. Dampaknya, mereka akan mampu bertarung dengan negara pesaing untuk menjual produk manufaktur bernilai tinggi. Apalagi peluang pasar itu semakin terbuka lebar di tengah kerasnya perang dagang antara China dan Amerika Serikat sehingga lebih leluasa masuk ke pasar AS.
Dengan demikian akan terjadi peningkatan ekspor produk nonmigas yang menghasilkan devisa. Strategi ini secara bertahap akan mengurangi tekanan defisit neraca perdagangan sektor nonmigas. Hal ini sangat penting menjadi prioritas perhatian presiden terpilih karena sejak lima tahun terakhir defisit neraca perdagangan sektor nonmigas terus terjadi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak 2014-2018 terjadi defisit neraca perdagangan antara ekspor nonmigas dan impor nonmigas. Secara keseluruhan terjadi surplus neraca perdagangan bukan karena kinerja sektor nonmigas, melainkan meningkatnya ekspor migas karena terjadinya lonjakan harga komoditas tambang, gas, dan minyak mentah.
Empat strategi
Oleh karena itu, sinergi kebijakan yang dirumuskan oleh berbagai pihak terkait harus konsisten dan komprehensif. Hal itu pun pernah ditegaskan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, akhir Maret lalu, di Jakarta, yang dilansir berbagai media nasional. Untuk menuju ke sana, upaya yang dilakukan harus melalui empat strategi.
Pertama, meningkatkan daya saing perekonomian nasional yang dilakukan melalui empat elemen, yaitu ketersediaan infrastruktur, kualitas modal manusia yang andal, kemampuan menyerap teknologi, dan dukungan kelembagaan. Kedua, BI akan terus mengembangkan kapasitas dan kapabilitas sektor industri. Ketiga, memanfaatkan seoptimal kemampuan besar ekonomi digital, dan keempat, memperluas sumber pembiayaan ekonomi.
Kalangan pelaku industri sekaligus pengurus yang tergabung dalam Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) optimistis, peluang untuk meningkatkan kinerja perekonomian nasional sekaligus menekan defisit neraca perdagangan nonmigas bisa dilakukan. Hal itu bisa terjadi jika semua pihak yang berkompeten berkomitmen membangun soliditas dan sinergis kebijakan yang komprehensif.
Pihaknya yakin, Indonesia masih memiliki peluang dan potensi yang sangat besar untuk mengembangkan sektor industri nonmigas, khususnya yang berbasis kayu dan rotan. Peluang itu sangat dimungkinkan karena Indonesia tidak hanya memiliki sumber bahan baku berlimpah, tetapi juga tenaga sumber daya terampil dan teknologi yang relatif memadai.
Presiden optimistis
Realitas itu tidak hanya diakui oleh Ketua Umum HIMKI Sunoto dan Sekjen HIMKI Abdul Sobur, tetapi juga diakui oleh Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi, yang juga mantan pelaku industri dan pengusaha mebel di Solo, Jawa Tengah, mengakui akan ada potensi besar tersebut.
Pengakuan itu tidak hanya sebatas pada kekuatan bahan baku dan sumber daya terampil, tetapi juga peningkatan kualitas desain yang makin hari makin mampu memenuhi selera pasar global. Hal ini membuat Presiden Jokowi optimistis dan yakin sektor berbasis kayu dan rotan bisa bersaing di pasar global.
Sobur mengklaim, negeri ini adalah surga bagi penyediaan bahan baku kayu ataupun rotan. Komoditas bahan baku itu hampir tersedia di seluruh wilayah Indonesia.
Namun, sayangnya, surga itu tak mampu dimanfaatkan secara optimal. Coba bayangkan di negeri ini ada 300-an jenis spesies rotan. Dengan jumlah komoditas sebanyak itu, menempatkan negeri ini dengan kemampuan sebagai penghasil 80 persen bahan baku rotan dunia.
”Apa tidak luar biasa? Namun, kenyataannya tak mudah bagi pelaku industri mebel rotan yang berorientasi ekspor mendapatkan bahan baku dengan harga kompetitif dan mudah. Kondisi yang sama juga dialami oleh industri mebel berbasis kayu,” kata Sobur.
Butuh dukungan
Saat ini, tambah Sobur, nilai ekspor mebel dan kerajinan nasional baru mencapai 2,5 miliar dollar AS. Jika pemerintah ingin mengenjot pertumbuhan ekspor mebel dan kerajinan Indonesia hingga 5 miliar dollar AS, butuh dukungan energi yang tidak kecil. Dukungan itu khususnya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu sekitar 15 juta meter kubik hingga 17 juta meter kubik per tahun.
Jenis tanaman yang dibutuhkan sebagai bahan baku untuk mebel dengan density atau massa jenis di atas 550 di antaranya mahoni, jati mindi, sungkai, nyatoh, dan Eucalyptus grandis.