DPRD Bali sepakat menetapkan Peraturan Daerah Bali tentang Desa Adat. Peraturan ini memperkuat desa adat yang menjadi pilar adat istiadat dan budaya di Bali.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — DPRD Bali, dalam rapat paripurna, Selasa (2/4/2019), sepakat menetapkan Rancangan Peraturan Daerah Bali tentang Desa Adat menjadi peraturan daerah atau perda. Peraturan ini memperkuat desa adat yang menjadi pilar adat istiadat dan budaya di Bali.
Gubernur Bali Wayan Koster menyampaikan ucapan terima kasih kepada DPRD Bali karena sudah menetapkan Raperda Desa Adat itu menjadi perda. Peraturan tersebut menggantikan Perda Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Perda Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman.
”Desa adat ini harus dibela habis-habisan. Desa adat adalah pilar yang menjaga adat istiadat dan budaya. Kalau desa adat ditinggalkan, Bali tidak ada bedanya dengan daerah lain,” ujar Koster saat menyampaikan pendapatnya menjelang akhir sidang paripurna di Gedung DPRD Bali, Selasa.
Sebelumnya, Koordinator Panitia Pembahasan Raperda Desa Adat DPRD Bali I Nyoman Parta mengatakan, pembahasan raperda itu dapat diselesaikan dalam kurun waktu 3 bulan 14 hari sejak Gubernur menyampaikan raperda desa adat ke DPRD pada 19 Desember 2018. Ketua Komisi IV DPRD Bali itu mengatakan, Perda Desa Adat seiring dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2014 tentang Desa.
Menurut Parta, Perda Desa Adat juga bertujuan menjawab tantangan masa depan keberadaan desa adat di Bali. Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan, hak-hak tradisional, harta kekayaan, tradisi, tata krama pergaulan yang terikat tempat suci (kahyangan tiga), tugas dan wewenang, serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Secara umum, Perda Desa Adat Bali terdiri atas 19 bab dan 103 pasal. Desa adat menjadi subyek hukum karena dapat melaksanakan perbuatan hukum seperti manusia dan badan hukum lain. Dalam perda tersebut juga disebutkan bahwa pemerintah provinsi membentuk perangkat daerah yang membidangi urusan desa adat.
Koster menyatakan siap mengubah dan menyesuaikan organisasi perangkat daerah (OPD) di Pemprov Bali sehingga ada OPD yang mengurus desa adat. Ia juga berencana meningkatkan alokasi anggaran daerah untuk pemberdayaan desa adat dari Rp 250 juta per desa adat menjadi minimal Rp 300 juta per desa adat.
”Saya berencana mengubah organisasi perangkat daerah sesuai kebutuhan daerah, selain menyesuaikan dengan kebutuhan nasional,” kata Koster.
Terkait penetapan Perda Desa Adat dan janji Gubernur untuk memberdayakan dan menguatkan desa adat, Bendesa Agung (Ketua Umum) Majelis Utama Desa Pakraman Bali Jero Gede Suwena Putus Upadesa menyambut baik. ”Sudah mulai jelas gambaran upaya menguatkan desa adat di Bali,” kata Suwena yang juga hadir di Gedung DPRD Bali.
Menurut dia, desa adat juga berkewajiban menyiapkan perangkatnya agar lebih berkualitas dan mumpuni dalam mengelola tugas, hak, dan kewajiban desa adat. Untuk itu, ujarnya, aparatur desa adat perlu mendapat pelatihan dan pendidikan tentang manajemen desa. Selain itu, desa adat akan merekrut staf yang berkeahlian di bidang adat, budaya, hukum, serta ekonomi.