Korporasi Indonesia Bertransformasi Tanpa Meninggalkan Inti Bisnis Awal
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyikapi era revolusi industri keempat, korporasi di Indonesia bertransformasi, mulai dari internal organisasi sampai dengan strategi bisnis. Meski demikian, transformasi yang dilakukan tidak meninggalkan inti bisnis awal mereka.
Chief Executive Officer PT Lippo Karawaci Tbk John Riady saat berkunjung ke kantor Kompas, Jakarta, pekan lalu, menyampaikan, akibat perkembangan teknologi digital, perusahaan-perusahaan besar dunia sulit bertahan lebih lama pada kelompok Fortune 100.
Korporasi teknologi internasional yang sekarang menjadi pemain dunia, seperti Alibaba dan Tencent, berpotensi mengalami disrupsi digital. Di Amerika Serikat, Microsoft sudah dianggap perusahaan teknologi berusia ”tua” karena di negara itu bermunculan perusahaan-perusahaan baru.
Di lingkungan bisnis keluarganya, tambah John, kakeknya, Mochtar Riady, selalu berpikiran maju. Mochtar sudah lebih dulu membicarakan teknologi nano, teknologi finansial, dan 5G sebelum pengusaha Indonesia lain ramai membahas berbagai isu itu.
Sekitar tiga tahun terakhir, lanjut dia, secara grup, Lippo menyuntikkan dana investasi ke beberapa perusahaan rintisan digital, antara lain Grab, RuangGuru, dan Sociolla. Lippo juga mengembangkan OVO, uang elektronik yang kini menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia.
”Rata-rata, pekerja di perusahaan rintisan digital berumur 27 tahun, berpikiran terbuka, dan kritis. Meski demikian, ada juga pekerja milenial di sana tidak mempunyai tiga kepribadian itu. Sementara di organisasi kami, rata-rata pekerja berusia nonmilenial, tetapi mereka mau diajak berpandangan maju,” ujar John.
Menurut dia, usia hanyalah urusan angka. Hal yang paling penting adalah pola pikir.
Pada masa kepemimpinannya, tambah John, Lippo Karawaci akan fokus pada bisnis properti hunian, rumah sakit, dan mal. Transparansi pengoperasian bisnis akan dikedepankan.
Head of Integrated Digital Platform Division PT Astra International Tbk (Astra) Kemas Henry Kurniawan secara terpisah menyebutkan, Astra Digital, sebagai perwujudan korporasi, mengikuti perkembangan selera konsumen di era digital. Astra Digital berbentuk badan usaha perseroan terbatas. Produk digital yang dikembangkan mengikuti tujuh inti bisnis Astra.
Ketujuh inti bisnis Astra adalah otomotif, jasa keuangan, alat berat, pertambangan, konstruksi dan energi, agrobisnis, infrastruktur dan logistik, teknologi informasi, serta properti.
Astra Digital telah memiliki empat produk digital. Sebagai contoh, Seva.id berbentuk platform otomotif terintegrasi. Platform ini memungkinkan konsumen memesan mobil, tukar tambah kendaraan lama, menghitung cicilan bulanan, dan penjadwalan servis.
Contoh lainnya adalah CariParkir, aplikasi yang memungkinkan pengguna menemukan tempat parkir terdekat dan memesan slot parkir.
”Perilaku konsumen terus berubah seiring perkembangan zaman. Kami mau tak mau harus mengikuti perubahan. Segala inovasi yang dikeluarkan Astra Digital bertujuan memperkuat inti bisnis,” ujar Kemas.
Beberapa waktu lalu, Astra menyuntikkan dana investasi dan membentuk perusahaan patungan dengan Go-Jek. Menurut Kemas, kedua aktivitas itu bagian dari upaya Astra berkolaborasi dengan perusahaan teknologi yang sudah berkembang.
Ekosistem
Terkait dengan ekosistem usaha rintisan bidang teknologi digital, korporasi lainnya juga mendukung.
Salim Group, misalnya. Pada 2017 Salim Group bekerja sama dengan NUS Enterprise mulai mengoperasikan BLOCK71 di Ariobimo Sentral, Kuningan, Jakarta. BLOCK71 merupakan fasilitas inkubator sekaligus memberikan penghubung ke jaringan wirausaha dan investor bagi usaha rintisan.
Selain itu, Salim Group turut mendukung penyelenggaraan Food Start Up Indonesia Accelerator (FSIA), kelanjutan dari Badan Ekonomi Kreatif Food Start Up Indonesia, kompetisi usaha rintisan di bidang kuliner. Penyelenggaraan FSIA dilakukan oleh Accelerice. Accelerice adalah akselerator sekaligus pengelola pusat pengetahuan dan inovasi makanan di kawasan Kuningan, Jakarta. (MED)